KELOLA SUMBERDAYA ALAM DEMI MASA DEPAN ANAK CUCU KITA

Rabu, 28 April 2010

Kajian Status Hukum Taman Nasional

Ringkasan Eksekutif
Taman Nasional Kutai (TNK) terletak di kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur (yakni Kecamatan Bontang Utara, Bontang Selatan, Muara Badak, dan Marang). yakni 0 – 400 m diatas permukaan laut. Secara administrartif sebelumnya berada Kabupaten Kutai dan Kota Bontang, secara geografis berada diantara 0º 7 ’ 54 ” - 0º 33 ” 53 ” LU dan 116 º 58 ”48 ”-117 º 35 ’ 29 ” BT. Luasan TNK berdasarkan surat Menteri Kehutanan No. 997/Menhut-II/1997 luasan Taman Nasional Kutai menjadi 198.604 Ha, merupakan hasil dari pengurangan kawasan TNK sejak penunjukan tahun 1995, untuk perluasan Kota Bontang sekitar 25 Ha.

Taman Nasional Kutai (selanjutnya disebut TNK) merupakan kawasan hutan hujan tropis dataran rendah yang memiliki potensi sumberdaya alam hayati yang memiliki sejarah panjang status hukum sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi sejak 7 Mei 1934 oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan sebutan ‘forestry reserve’ melalui SK (GB) No. 3843/z/1934, sejak itu ada berbagai status hukum untuk kawasan ini, hingga kemudian tahun 1995 melalui SK Menteri Kehutanan No. 352/1995 menjadi Taman Nasional Kutai. TNK berada dalam 4 wilayah administrative kecamatan di Kabupaten Kutai Timur, yakni Kecamatan Bontang Utara, Bontang Selatan, Muara Badak, dan Marang.

Sejak ditetapkan sebagai suaka margasatwa dan kemudian sebagai Taman nasional, keutuhan kawasan banyak terkikis baik itu oleh perambahan maupun pinjam pakai kawasan untuk berbagai keperluan di luar keperluan konservasi. Selain itu, perkembangan pengelolaan kawasan TNK diikuti dengan berbagai permasalahan perubahan sistem pemerintahan dalam bentuk desentralisasi atau disebut otonomi membawa dampak pada persepsi  penentuan dan pemanfaatan kawasan Taman Nasional oleh masyarakat lokal dan pemerintah daerah. perubahan sistem pemerintahan dalam bentuk desentralisasi atau disebut otonomi daerah, membawa pemerintahan dalam bentuk desentralisasi atau disebut otonomi daerah, membawa dampak pada persepsi  penentuan dan pemanfaatan kawasan Taman Nasional oleh masyarakat lokal dan pemerintah daerah.

Meski kewenangan pengelolaan TNK masih berada di Pusat, dalam hal ini Departemen Kehutanan, yang dilaksanakan Balai TNK, tidak serta merta bisa menyelesaikan persoalan yang muncul seperti; terbentuknya desa desa definif oleh Daerah, semakin hari terjepit dengan kawasan pengusahaan hutan (HPH, HTI) dan perusahaan tambang, pembukaan jalan, pinjam pakai  kawasan, dan kejelasan tata batas akibat banyaknya izin yang dikeluarkan di sekitar dan di dalam kawasan TNK.

Masih berhubungan dengan permasalahan hukum, adalah keberadaan masyarakat yang ada sebelum adanya status hukum TNK ditetapkan, , juga telah masuk pendatang pendatang baru yang berasal dari luar kawasan dan berusaha dalam kawasan TNK, serta kelompok masyarakat adat yang memiliki konsep gilir balik, kembali ke kawasan tersebut sebagai bagian pola gilir balik mereka.

Studi mengenai Status Hukum Taman Nasional Kutai (TNK) dan Dampaknya terhadap Pengelolaan Kawasan dilakukan oleh Institut Hukum Sumber Daya Alam (IHSA) dengan dukungan CIFOR dan TNC bermaksud mengkaji a) bagaimana hubungan antara kepastian hukum status kawasan TNK dengan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan, terutama dengan kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan yang saat ini marak di TNK;  b) bagaimana kewenangan pengelolaan TNK jika dihubungkan dengan otonomi daerah, dimana misalnya terdapat keinginan yang kuat dari Pemkab Kutai Timur untuk membangun permukiman dan beberapa fasilitas lainnya dalam kawasan TNK; c) serta bagaimana perspektif para pihak dan keterlibatan masyarakat  dalam pengelolaan TNK.

Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut di atas maka telah dilakukan, 1) pengumpulan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder maupun tersier yang terkait dengan kawasan konservasi, khususnya taman nasional 2) wawancara dengan para pihak yang dinilai sebagai bagian dari pemangku kepentingan di kawasan TNK guna mengidentifikasi persoalan yang sedang dihadapi oleh TNK, baik pada saat ini maupun masa yang akan datang. Data yang telah terkumpul akan dianalisis melalui dua tahap. Pada tahap pertama menggunakan strategi analisis umum yang disebut strategi mengandalkan proposisi-proposisi teoritis (relying on theoritical propositions), dan pada tahap berikutnya menggunakan teknik analisis yang disebut dengan explanation building.

Status hukum TNK dan Dampaknya terhadap pengelolaan kawasan
Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.  Adapun ketentuan mengenai penetapan suatu kawasan sebagai taman nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Berkenaan dengan penetapan kawasan, dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa suatu kawasan ditetapkan sebagai taman nasional, setelah melalui tahapan berikut: 
a.      Penunjukan kawasan beserta fungsinya
b.      Penataan batas kawasan;
c.       Penetapan kawasan.

Selanjutnya dalam Pasal 10 disebutkan bahwa setelah Menteri menunjuk  kawasan tertentu sebagai taman nasional maka akan dilakukan penataan batas oleh sebuah Panitia Tata Batas yang keanggotaan dan tata kerjanya ditetapkan oleh Menteri. Dan selanjutnya Menteri menetapkan kawasan taman nasional, berdasarkan Berita Acara Tata Batas yang direkomendasikan oleh Panitia Tata Batas.

Dalam kaitannya dengan pengelolaan taman nasional, dalam Pasal 32 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya disebutkan bahwa  Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan ini terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (selanjutnya KSA dan KPA), khususnya Pasal 31 ayat (2),(3), dan (4). Lebih lanjut dalam Pasal 37 disebutkan bahwa kawasan taman nasional dikelola dengan melakukan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, yang dilaksanakan sesuai dengan sistem zonasi pengelolanya (Pasal 38). Upaya pengawetan berdasarkan sistem zonasi ini diatur dalam Pasal 39-41 sementara pemanfaatan kawasan taman nasional menurut Pasal 48 dilakukan sesuai dengan sistem zonasi pengelolaannya.

Dalam kasus TNK terlihat bahwa status kawasan tersebut adalah penunjukan atau dengan kata lain masih berada pada tahap pertama dalam proses penatapan kawasan selain penataan batas dan penetapan kawasan. Hal itu juga tercermin dari belum adanya pembagian mintakat  sebagaimana dimaksud dalam UUKH dan PP No. 68 Tahun 1998 tentang KSA dan KPA. Padahal, zonasi merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar bagi sebuah taman nasional, sebab sebagai hutan dengan fungsi konservasi, upaya pengawetan dan pemanfaatan kawasan mempersyaratkan adanya zonasi.

Persoalan status hukum di atas, bukan saja berimplikasi pada pengelolaan TNK itu sendiri, tetapi juga merebak pada kegiatan penggunaan kawasan TNK untuk kepentingan lain di luar kehutanan. Secara umum persoalan yang dihadapi oleh TNK dapat kelompokkan dalam 2 (dua) kategori sebagai berikut:
1.    Sebelum kawasan tersebut ditunjuk sebagai taman nasional pada tahun 1995.
Ketika Indonesia merdeka, status kawasan secara yuridis tidak berubah, hal ini didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Dalam perjalanannya, melalui SK Mentan No. 110/UN/1957, tanggal 14 Juni 1957, kawasan tersebut kembali ditetapkan sebagai Kawasan Suaka Margasatwa Kutai. Status kawasan juga tidak mengalami perubahan, karena dalam Pasal 20 UUPK ditegaskan bahwa “hutan yang telah ditetapkan sebagai Hutan Tetap, Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, berdasarkan Peraturan Perundangan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang ini, dianggap telah ditetapkan sebagai Kawasan Hutan dengan peruntukkan dan fungsi sesuai dengan penetapannya.”
Sebagai suaka margasatwa, menurut Pasal 9 ayat (2) Pemerintah ini diwajibkan untuk ditata dan dibuat Rencana Karya. Lebih lanjut dalam ayat (4) dijelaskan bahwa penata-gunaan Hutan Suaka Alam bertujuan untuk melindungi keadaan alam untuk menghindarkan kemusnahan dan/atau demi kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Pada derajat ini, tidak ditemukan informasi mengenai apakah Suaka Margastawa Kutai (SMK) memiliki Rencana Karya atau tidak. Tanpa adanya suatu rencana karya, maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan kawasan SMK berjalan tanpa arah yang jelas. “Celah hukum” inilah yang kemudian membuka peluang bagi hadirnya (kembali)  kegiatan pertambangan di kawasan itu. Pada tahun 1971, Pemerintah menerbitkan Keppres No. 50 Tahun 1971 yang antara lain menetapkan wilayah kuasa pertambangan Pertamina seluas ± 768,75 km².  Dan pada tanggal 4 Mei 1977 ditetapkan SKB Dirjen Kehutanan dan Dirjen Migas No. 45/Kpts/DJ/I/1977; No. 39/Kpts/DJ/Migas/1977, dimana dinyatakan bahwa Dirjen Kehutanan memberi persetujuan terhadap dilaksanakannya eksplotasi dan eksplorasi minyak dan gas pada zona I.
Pada tahun 1982, melalui SK Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 ditetapkan 11 kawasan suaka alam sebagai  calon taman nasional, salah satunya adalah SMK dengan luas 200.000 ha.   Dalam perjalanannya, ketiadaan rencana karya kawasan SMK membuat kawasan ini rentan terhadap ancaman. Pada tanggal 5 Oktober 1990, Pemerintah Daerah Tingkat I Kalimantan Timur membangun jalan Bontang -Sangatta sepanjang kurang lebih 60 km. Jalan tersebut, menurut Subarudi, unik karena di "design" dengan membelah areal SMK sehingga memakan luas areal sebesar 48 ha yang terkena pelebaran jalan berikut isinya.

Di tahun 1994, tepatnya tanggal 12 November 1994, Menteri Kehutanan mengeluarkan surat No. 178/Menhut-VI/1994  yang berisi persetujuan penggunaan Taman Nasional Kutai untuk kegiatan pemboran  4 sumur di lapangan minyak Sangatta yang kemudian ditindaklanjuti dengan perjanjian pinjam pakai kawasan hutan No. 016/KWL/PTGH-3/1995 tanggal 16 Maret 1995 antara Pertamina Sangatta dan Kanwil Kehutanan  Departemen Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. 

Apabila persetujuan itu dikaitkan dengan status kawasan, ada 2 (dua) hal yang menarik untuk dicermati:
a.   Surat persetujuan tersebut menggunakan istilah Taman Nasional Kutai, padahal secara hukum statusnya masih kawasan Suaka Margasatwa Kutai. Meski pada tahun 1982 dideklarasikan sebagai calon taman nasional tapi status tersebut belum definitif. Pada sisi lain, apabila memang kawasan tersebut diakui sebagai taman nasional—sebagaimana disebutkan dalam surat Menteri Kehutanan No. 178/Menhut-VI/1994—maka  berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 969.K/05/M.PE/1989. 429/Kpts-II/1989 tentang Pedoman Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan, seharusnya kawasan tersebut tidak bisa dilakukan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi.
b.   Apabila mengacu pada status hukum kawasan yang masih merupakan suaka margasatwa, maka surat Menteri Kehutanan No. 178/Menhut-VI/1994 mempunyai landasan berpijak, karena dalam Pasal 3 SKB itu disebutkan bahwa usaha pertambangan dan energi dapat dilaksanakan dalam daerah Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, Taman Buru, Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi dengan izin penggunaan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan. Adapun status tanah kawasan hutan yang digunakan untuk usaha pertambangan dan energi, menurut Pasal 4, adalah tetap sebagai kawasan hutan dan penggunaannya bersifat pinjam pakai.

2.   Setelah ditunjuk sebagai taman nasional.
Pada tanggal 29 Juni 1995, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 325/Kpts.II/95 status SMK berubah menjadi Taman Nasional Kutai dengan luas 198.629 Ha.  Pasca penetapan sebagai taman nasional, ada beberapa kegiatan di dalam kawasan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan. Kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:

a.   Pertambangan umum atau pertambangan minyak dan gas bumi.
Dalam hubungannya dengan kegiatan pertambangan umum atau pertambangan minyak dan gas bumi, analisis mengenai hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari keberadaan PT. Pertamina dan PT. Tambang Damai.
Pasca penetapan sebagai taman nasional, kegiatan PT. Pertamina di kawasan TNK dipayungi oleh:
1)   Surat persetujuan Menhut No. 1238/Menhut-VI/1996 tanggal 12 September 1996 yang  kemudian ditindaklanjuti dengan perjanjian pinjam  pakai antara Pertamina Sangatta dan Kanwil Departemen Kehutanan Provinsi Kaltim. Masa pinjam pakai adalah 5 tahun sedang lahan yang dipakai seluas 11,5697 ha untuk 4 (empat) sumur eksploitasi.
2)   Perpanjangan pinjam pakai kawasan hutan  No. 016/KWL/PTGH-3/1995 tanggal 16 Maret 1995 antara Pertamina Sangatta dan Kanwil Kehutanan  Departemen Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur.
Jika merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam SKB Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan No. 969.K/05/M.PE/1989.  429/Kpts-II/1989 tentang Pedoman Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan, khususnya Pasal 2 ayat (3) maka seharusnya  lokasi  dimana terdapat kegiatan tersebut dikeluarkan dari penetapan Taman Nasional. Ketika lokasi tersebut tidak dikeluarkan dari kawasan TNK maka akan terdapat pertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karena dalam Pasal 33 UUKH secara tegas melarang adanya kegiatan yang mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti atau kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona lainnya. Selain itu dalam Pasal 2 ayat (1) SKB Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 969.K/05/M.PE/1989.  429/Kpts-II/1989 tentang Pedoman Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan secara tegas menyatakan bahwa kegiatan pertambangan umum atau pertambangan minyak dan gas bumi tidak dapat dilakukan di kawasan taman nasional.
Dalam kasus Pertamina, apabila masa perjanjian pinjam pakai kawasan telah selesai, maka yang diberlakukan adalah ketentuan yang terdapat dalam Permenhut No. P.64/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Jika mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6, maka perjanjian tersebut tidak dapat diperpanjang karena pada Pasal itu ditentukan bahwa kawasan hutan yang dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan adalah kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
Pembangunan Base Tower Server (BTS) Saat ini terdapat 16 menara telekomunikasi dalam kawasan TNK, pembangunan BTS tersebut  bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik ketentuan yang terdapat dalam UUKH maupun  Permenhut No. P.64/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.   

Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan fasilitas umum lainnya. Pada prinsipnya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 Permenhut No. P.64/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, dimana dinyatakan bahwa kawasan hutan yang dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan adalah kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung, maka kehadiran SPBU dan fasilitas umum lainnya ilegal.

Apabila pelanggaran terhadap berbagai ketentuan tersebut dikaitkan dengan status kawasan akan terlihat bahwa terdapat kesulitan untuk melakukan penegakkan hukum terhadap pelanggaran tersebut, karena sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UUKH semuanya dihubungkan dengan zonasi. Dengan kata lain, kegiatan yang dapat dipidana apabila kegiatan itu menganggu atau tidak sesuai dengan fungsi zona (inti, rimba dan pemanfaatan). Tanpa adanya zonasi, maka akan sulit melakukan krimininalisasi  terhadap pelanggaran yang terjadi.

Kewenangan pengelolaan TNK dalam Bingkai Otonomi Daerah
Dalam konteks Taman Nasional Kutai, Pemerintah Pusat berwenang menunjuk dan menetapkan status kawasan Hutan. Sedangkan mengenai pengelolan Taman Nasional, diserahkan kepada lembaga pengelola, yang disebut Balai Taman Nasional, namun seiring dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999, adanya daerah daerah otonom yang juga memiliki kewenangan untuk mengelola kawasan yang ada dalam wilayah administratifnya, membawa pengaruh pada pengelolan TNK. Dimana muncul inisiatif inisiatif untuk melakukan pengelolaan.

Dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentanng Pemerintahan Daerah dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah, telah dengan detail membagi urusan Pusat dan Daerah, mulai dari urusan administrasi hingga Pengelolaan sumberdaya alam. UU ini mengatur urusan Kehutanan sebagai urusan pilihan oleh daerah sebagaimana tercantum dalam pasal 7 ayat 3 dan 4, yang menyatakan bahwa urusan pilihan Pemerintah Daerah, meliputi: Kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, energi dan sumberdaya mineral dan pariwisata. Selanjutnya dalam bagian Lampiran PP dijelaskan bahwa sub bidang perencanaan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota hanya memberi pertimbangan teknis pengesahan rencana jangka pendek, menengah dan jangka panjang untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, tamana wisata alam dan taman buru skala Kabupaten/ Kota.
Urusan pengelolaan kawasan konservasi suaka alam dan pelestarian alam, salah satunya termasuk Taman Nasional, dilakukan melalui pengaturan konservasi setingkat undang-undang sebelumnya menggunakan pengaturan warisan Kolonial Belanda, sejumlah peraturan warisan Pemerintahan Belanda yang berkaitan dengan perburuan, perlindungan binatang liar, maupun perlindungan alam tersebut selanjutnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Hingga diundangkannya UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dimana dalam bagian Penjelasan menyatakan bahwa UU ini merupakan dasar hukum bagi pengelolaan kawasan Konservasi Sumberdaya hayati. Sehingga dengan berlakunya UU ini, urusan pengelolaan konservasi berada pada Pemerintah Pusat, dengan sedikit mencantumkan peran daerah.

Dengan berlakunya UU No. 32 tahun 2004 dan PP No. 38 tahun 2007, Daerah otonom memiliki kewenangan, secara umum kewenangan tersebut meliputi: kewenangan teknis pengelolaan SDA dalam bentuk izin untuk penyediaan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan SDA di daerah dan kewenangan mengatur dan mengurus SDA yang merupakan satu kesatuan yang utuh baik pengelolaan yang meliputi perencanaan, pemanfaatan/pengelolaan, pemulihannya. Untuk bidang kehutanan, termasuk ke dalam kelompok kewenangan pilihan. Pemerintah Daerah dapat mengeluarkan produk  hukum daerah seperti Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan atau Surat Keputusan Bupati untuk mendukung kegiatan konservasi dan pengelolaan konservasi bersama Balai Taman Nasional. Pemberlakukan ini, ditujukan untuk melakukan reorganisasi hubungan Pemerintah Pusat Daerah pasca UU No. 22 Tahun 1999, yang menghasilkan rangkaian permasalahan kewenangan, tumpang tindih peraturan dan penyelenggaran pemerintahan sebagai daerah otonom.

Namun apakah reorganisasi hubungan kewenangan ini turut membantu menyelesaikan permasalahan pengelolaan Taman Nasional? Ternyata belum, melihat kondisi TNK sekarang, pemberlakuan UU No. 32 Tahun 2004 serta PP. No. 38 Tahun 2007 justru semakin mengurangi peran Pemerintah Daerah/ Kabupaten untuk ikut mengelola kawasan TNK, meski Pasal 17 UU ini mencantumkan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat 4 dan ayat 5, meliputi: a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak  budidaya dan pelestarian; b. bagi hasil  atas atas pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya; dan, c. Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.

Meski telah ada rangkaian peraturan teknis yang memberi peluang untuk pengelolaan bersama antara Balai TNK, Pemerintah Daerah dan Masyarakat. namun hanya sebatas pemberian rekomendasi untuk rencana pengelolaan jangka pendek, menengah dan panjang (Lampiran pembagian urusan kehutanan sub bidang Perencanaan).

Kewenangan Daerah untuk Pemekaran Wilayah Vs Kewenangan ‘Enclave” Kawasan Hutan oleh Departemen Kehutanan.
Secara hukum, permasalahan TNK berkaitan kewenangan Pemerintah Daerah serta masyarakat, ditandai dengan terbitnya SK Gubenur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur No. 140/SK.406.A 1996 tertanggal 30 September 1996 Tentang Penetapan Desa Desa Persiapan, yakni Sangatta Selatan, Sangkima dan Teluk Pandan Kec. Sangatta Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai, diproses selama 1 tahun dan ditetapkan menjadi Desa Definitif melalui SK Gubenur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur tahun 1997. Sebagai daerah otonom, Pemekaran desa merupakan salah satu kewenangan daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan daerahnya. Kewenangan Daerah, menurut Bagian Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah merupakan urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan Pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama Pemerintah dan Pemerintah daerah. Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan kepada Propinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota. Mengingat terbatasnya sumber daya dan sumber dana yang dimiliki oleh daerah, maka prioritas penyelenggaraan urusan pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kekhasan daerah yang bersangkutan.

Rangkaian pemekaran daerah tersebut ditindak lanjuti melalui Keputusan Bupati Kutai Timur No. 81 Tahun 2001 Tentang “Enclave Desa Sangatta, Singa Geweh, Sangkima dan Teluk Pandan sebagai Desa Definitif yang telah dilepaskan dari Kawasan TNK. Dalam Peraturan Bupati ini, ada perbedaan isi dan bentuk peraturan Judul peraturan adalah Peraturan Bupati, namun isinya dan bagian awal menyebutkan “Peraturan Daerah”.  Keputusan Bupati No. 81 Tahun 2001 ini, secara sistematika sebuah peraturan tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah dan tidak sesuai pula dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 tahun 2006 Tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah sebagai pengganti dari Keputusan No. 23 Tahun 2000 tersebut. Sistematika keputusan menurut Permendagri No. 15 Tahun 2006, terdiri dari bagian Menimbang, Mengingat, Menetapkan dengan struktur : KESATU, KEDUA, KETIGA dan seterusnya. Kemudian secara substansi Peraturan No. 81 Tahun 2001, cendrung mengarah pada sistematika dan substansi sebuah Peraturan Daerah.

SK No. 16 tahun 2006, dalam pasal menyatakan bahwa Produk hukum daerah bersifat pengaturan dan penetapan. Dan dalam pasal 3 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bersifat Pengaturan, meliputi: Peraturan daerah atau sebutan lain; peraturan kepala daerah; dan peraturan bersama kepala daerah. Sedangkan yang bersifat penetapan meliputi: Keputusan kepala daerah; dan Instruksi kepala daerah. Dari sisi kewenangan, Bupati sebagai kepada daerah otonom tidak memiliki wewenang untuk menetapkan ‘enclave Desa Sangatta, Singa Geweh, Sangkima dan Teluk Pandan sebagai Desa Definitif yang telah dilepaskan dari Kawasan TNK’ karena keputusan untuk penetapan dan pemekaran desa harus ditetapkan bersama dengan DPRD dalam bentuk Peraturan Daerah, hal ini dapat dilihat pada Pasal  4 “Ketentuan lebih lanjut mengenai Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri”(PP No. 71 Tahun 2005 Tentang Desa) yang sebelumnya adalah Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Pengaturan Desa. Kebijakan pemekaran desa dan pemekaran kecamatan merupakan kewenangan daerah yang dibentuk melalui Peraturan Daerah, hal ini di dasari oleh UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah.

Sedangkan kebijakan untuk memutuskan ‘enclave’ suatu kawasan hutan merupakan kebijakan dari Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan.  namun sesungguhnya apa itu ‘enclave’ dalam kawasan Taman Nasional menurut peraturan perundangan dan peraturan pelaksananya, dapatkah ‘enclave’ dilakukan?. Istilah sejenis, dapat ditemukan dalam peraturan menteri atau surat keputusan Menteri adalah “pelepasan kawasan”, Tukar menukar kawasan’, pengurangan kawasan, kawasannya pun berstatus hutan produksi, dan dimungkinkan di hutan lindung jika mengacu UU No 1 Tahun 2004 (perubahan dari UU No. 41 Tahun 1999) yang mengatur tentang pertambangan dalam kawasan hutan (khusus 14 perusahaan tambang yang tercantum dalam Keppres No. 14 Tahun 2004).

Melihat dari rangkaian perundangan, memang tidak ditemukan pengaturan mengenai ‘enclave’ dalam Kawasan Taman Nasional, sehingga keputusan menentukan ‘enlave’ dalam suatu kawasan Lindung dan Konservasi merupakan suatu bentuk kebijaksanaan yang disebut Peraturan Kebijaksanaan.  Keputusan diambil dengan pertimbangan telah adanya kegiatan, penetapan, dan bukti bukti yang memenuhi syarat. Dari berbagai literature mengenai enclave, umumnya dilakukan untuk proses melakukan tata batas, dan kepastian suatu kawasan. Dari rangkaian surat menyurat dan proses yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan dalam hal ini Dirjen PHKA, sejak tahun 2000 hingga surat Menteri Kehutanan tahun 2002, terus menyatakan bahwa enclave yang dimaksud dalam kawasan Taman Nasional tetap dipertahankan dalam Kawasan Hutan dan tidak dilepas.

Pemeritahan Daerah kabupaten Kutai Timur berwenang menetapkan desa desa dan kecamatan  melalui Peraturan Daerah berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2004 Tentang Desa, namun Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan juga berwenang untuk menetapkan kawasan Hutan termasuk kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional) berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 dan UU No. 5 Tahun 1990 tentang KSDHE, serta PP No. 68 Tahun 1998 Tentang KSA dan KPA, namun dari perspektif hukum normatif, manakah yang lebih kuat, UU Kehutanan berlaku lex specialis, merupakan perundangan yang bersifat khusus untuk kehutanan, sedangkan UU No. 32 tahun 2004 dalam Dasar Pemikiran, bagian Penjelasannya menyatakan bahwa otonomi dilakukan untuk mensejahterakan rakyatnya dan yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah.

Kewenangan menetapkan dan memutuskan ‘enclave” dalam kawasan hutan harusnya dapat dipahami dan dimengerti oleh Daerah dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam peningkatan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat juga harus dipahami oleh Pemerintah Pusat. Kedua kewenangan tersebut didasari oleh UU yang sama sama memiliki dasar berpikir yang kuat untuk kehutanan dan rakyat, namun untuk menjawab permasalahan ‘enclave’, pilihan yang paling mungkin adalah melakukan perubahan kawasan yakni melepaskan kawasan hutan batas yang jelas sebagai kawasan enclave yang berfungsi sebagai kawasan penyangga bagi TNK. Kegiatan penduduk di dalamnya dibatasi dan disesuaikan dengan fungsi kawasan penyangga menurut UU 5 Tahun 1990 dan keputusan ini termasuk ke dalam peraturan kebijaksanaan.
Perspektif para pihak terhadap Pengelolaan Taman Nasional Kutai
Pemerintah
Perlu diketahui bahwa hingga saat ini di dalam TNK terdapat 4 (empat) desa definitif. Oleh karena itu pemerintah wajib memperlakukan mereka sama dengan desa yang lain dan juga mereka berhak mendapat KTP. Untuk itu diharpkan agar melihat kenyataan yang ada secara obyektif dan tidak mengabaikan 16 ribu jiwa yang bermukim dalam kawasan TNK.  Enclave penting di tetapkan agar ke empat desa defenitif yang ada dalam kawasan TNK menjadi jelas, kemudian penduduk yang berada diluar enclave kita sarankan untuk bergabung ke dalam desa-desa yang sudah di-enclave. Apabila menolak bergabung ke dalam 4 desa definitif, dapat memilih untuk di relokasikan ke kawasan jalan Maloy (Sangkulirang‑Wahau) sebagai petani plasma dalam perkebunan‑perkebunan besar yang akan dibuka, dengan mendapat lahan masing‑masing 2 ha per KK. H. Abdul Ajarsian, (Anggota Legislatif) menambahkan  dalam persoalan ini ada 2 (dua) persepsi yang timbul, pertama pemerintah berkewajiban melindungi TNK dan mengamankan sebagaimana mestinya. Disatu sisi pemerintah juga harus memperhatikan 16 ribu jiwa yang tergabung dalam 4 (empat) desa tersebut, jadi alangkah lebih baiknya jika memperhatikan keduanya. Pentingnya batas definitif juga harus diperrhatikan untuk membedakan dimana batas TNK dan dimana pemukiman yang harus diberikan supaya tidak terjadi suatu masalah, sebab sekarang masyarakat ini betul-betul menunggu kepastian hukum kapan bisa dilaksanakan. Kurang lebih 30 tahun yang lalu Teluk Pandan sudah ada SD Negeri itu berarti cukup lama adanya Teluk Pandan dan daerah lain termasuk 4 desa tadi.

Penegasan enclave juga disampaikan oleh Isran Noor (Bupati Kutai Timur), menegaskan akan terus berjuang agar usulan pemerintah Kabupaten Kutim yang menghendaki sebagian Taman Nasional Kutai (TNK) yang masuk wilayah Kecamatan Sengata Selatan dijadikan kawasan enclave atau kantung pemukiman dapat dikabulkan. TNK yang ditetapkan pusat sebagai paru-paru dunia, jauh hari sebelumnya sudah ada penduduk tinggal di sana. Oleh karenanya, Pemkab Kutim dibawah kepemimpinannya didukung Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak akan terus memperjuangkan agar sebagian kawasan TNK dijadikan enclave, jika pemerintah pusat tetap mempertahankan, lantas apa manfaatnya bagi masyarakat? Tetapi jika kawasan TNK dijadikan enclave, maka sudah pasti pemanfaatan lahan tersebut oleh masyarakat dapat dilakukan dengan jelas. Petani bisa menggarap lahan  dengan tenang. Pembangunan bisa dilaksanakan secara lancar, dan kesejahteraan masyarakat bakal bisa diwujudkan. Oleh karena itu, enclave TNK adalah harga mati, tak bisa ditawar.

Iman Hidayat (Kepala bidang fisik dan prasarana BAPPEDA Kabupaten Kutai Timur). arah pembangunan Kabupaten Kutai Timur yang juga didalamnya ada Taman Nasional Kutai, kedepannya pemerintah tidak harus melanggar peraturan yang sudah ada, tetapi aturan yang sudah ada harus juga melihat kondisi realita yang ada di lapangan sekarang ini. Dalam hal kewenangan Pemerintah Pusat yang diwakili Balai Taman Nasional Kutai dengan Pemerintah Kabupaten Kutim hendaknya ada pemahaman kewenangan dan kewenangan tersebut dibuat berdasarkan aturan yang jelas serta berdasarkan kesepakatan-kesepakatan khususnya dalam hal yang berkaitan dengan TNK hal ini untuk kejelasan penegakan aturan itu sendiri.

Masyarakat
Pada intinya masyarakat menginginkan mempercepat proses tata batas hal ini untuk memperjelas hak-hak masyarakat. Disamping itu pula pihak masyarakat sangat mengharapkan supaya ada tapal batas yang jelas agar bisa hidup berdampingan dengan TN itu sendiri dan juga ada kedamaian. Dalam hal perambahan hutan masyarakat meminta agar masyarakat jangan selalu dijadikan kambing hitam sebab sangat jelas kami melihat bahwa bukan masyarakat yang merusak hutan dan kawasan tersebut tetapi petugas Taman nasional itu sendiri.

LSM dan akademisi
BIKAL (Lembaga Swadaya Masyarakat) Dalam hal ini BIKAL memandang bahwa interaksi masyarakat dengan TNK perlu dipecahkan bersama melalui  suatu pendekatan win-win solution dengan mendasarkan  pada perundangan yang berlaku. Perlu pengembangan Zona Pemanfaatan Tradisonal (ZPT). Dalam hal ini masyarakat sasaran tetap diperbolehkan untuk mengelolah suatu kawasan tertentu dalam taman nasional dimana mereka juga dilibatkan untuk berpartisipasi langsung dalam pengelolaan taman nasional. BIKAL juga memandang perlu upaya-upaya konkrit dalam menyelesaikan persolan kompleks yang melanda Taman Nasional Kutai. Upaya-upaya itu diantaranya penentuan tapal batas harus menjadi prioritas utama, upaya penegakan hukum dan perbaikan kebijakan, dan pemberdayaan sosial dan ekonomi masyarakat di kawasan Taman Nasional Kutai.

Akademisi
TNK harus diselamatkan dan masyarakat didalamnya juga perlu diselamatkan. Untuk menyelamatkan TNK bersama rakyat didalamnya, harus dilaksanakan secara terpadu oleh semua stakeholders yang berkompeten terhadap pembinaan dan pengelolaan TNK. Dalam pelaksanaan  langkah penyelamatan perlu ditegakkan kepastian dan supremasi hukum secara tegas, kontinyu dan komprehensif.
1.   Untuk kegiatan yang lebih teknis pelaksanaan enclave dilaksanakan oleh Tim Enclave secara berjenjang dari Tim Tingkat Kabupaten hingga Tim Tingkat Desa (Tim Enclave sudah ditetapkan).
2.   Dengan adanya kewenangan yang lebih besar pada Pemkab Kutai Timur maka penyelesaian masalah-masalah TNK perlu dilakukan produk-produk hukum (PERDA) dengan melibatkan DPRD yang segera akan dibentuk.
3.   Penetapan dan perhitungan luasan harus mengakomodasi dari beberapa kepentingan stakeholders terutama kepentingan masyarakat.
4.   Perlu adanya review terhadap penetapan kawasan konservasi & Tata Ruang kawasan TNK (termasuk pembagian zona-zonanya), review tersebut dilakukan antara lain dengan telah mempertimbangkan:
a.            Fisik wilayah sesuai dengan indikator-indikator tentang kawasan konservasi.
b.            Perkembangan penduduk seiring perjalanan waktu.
Sehingga penyelesaian review tersebut memberikan hasil dari optimasi dan maksimalisasi dari 2 hal tersebut diatas.
5.   Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penanganan kawasan koservasi perlu dibicarakan lebih lanjut, karena riil saat ini TNK sudah tidak mampu lagi

Kesimpulan
1.   Status hukum kawasan TNK berpengaruh kepada penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi. Belum jelasnya tata batas dan zonasi dalam TNK berdampak pada sulitnya  penjatuhan sanksi. Karena sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UUKH semuanya dihubungkan dengan zonasi. Dengan kata lain, kegiatan yang dapat dipidana apabila kegiatan itu menganggu atau tidak sesuai dengan fungsi zona (inti, rimba dan pemanfaatan). Tanpa adanya zonasi, maka akan sulit melakukan krimininalisasi  terhadap pelanggaran yang terjadi.
2.   Keberadaan Pertamina dalam kawasan TNK, melalui perjanjian pinjam pakai kawasan sejak tahun 1996 telah selesai, jika akan diperpanjang maka yang berlaku adalah ketentuan yang terdapat dalam Permenhut No. P.64/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Jika mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6, maka perjanjian tersebut tidak dapat diperpanjang karena pada Pasal itu ditentukan bahwa kawasan hutan yang dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan adalah kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
3.   Kebijakan untuk memutuskan ‘enclave’ suatu kawasan hutan merupakan kebijakan dari Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan.  Sementara pemekaran desa merupakan salah satu kewenangan daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan daerahnya. Kewenangan Daerah, menurut Bagian Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah merupakan urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan Pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama Pemerintah dan Pemerintah daerah.
4.   Pada dasarnya masyarakat menginginkan mempercepat proses tata batas untuk memperjelas hak-hak masyarakat. Kepastian tata batas juga dapat membuat masyarakat hidup berdampingan dengan TNK itu sendiri dan juga ada kedamaian.

Saran
1.   Departemen Kehutanan dan Balai TNK harus mempercepat kepastian tata batas dan membuat zonasi dalam kawasan TNK, sehingga penegakkan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi dalam kawasan dapat ditindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.   Diperlukan adanya penghentian sementara semua kegiatan  di luar kepentingan kehutanan yang sedang berjalan dalam kawasan TNK  (moratorium), sampai status TNK dikukuhkan;
3.   Departemen Kehutanan melakukan perubahan kawasan yakni melepaskan kawasan TNK dengan batas yang jelas sebagai kawasan enclave yang berfungsi sebagai kawasan penyangga  bagi TNK dan kegiatan penduduk di dalamnya dibatasi dan disesuaikan dengan fungsi kawasan penyangga menurut UU 5 Tahun 1990;
4.   Departemen Kehutanan tidak memberikan persetujuan untuk memperpanjang perjanjian pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh Pertamina;



DAFTAR PUSTAKA


Subarudi, “Upaya Penyelematan Taman Nasional Kutai” Info Sosial Ekonomi , Vol. 2 No.1 (2001)
Hadjon, Philipus M. et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994)
Atmosudirdjo,  Prajudi, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986)
Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya 
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2001 tentang Pembagian Kewenangan dan Urusan Pemerintahan Pusat dan Daerah
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan dan Urusan Pemerintahan Pusat dan Daerah

1 komentar:

Nikolaust Aprydza mengatakan...

bagusss!! kajian ilmiah mengenai Taman Nasional Kutai... kalau saya secara pribadi sihh sependapat dengan merelokasi seluruh warga yg bermukim di kawasan TNK dengan sistem "Transmigrasi bedol desa", tohh masih banyak lahan lain di Kaltim ini yg bisa dihuni dan diberikan kepada warga untuk dikelola! kenapa harus TNK atau Hutan Lindung yg sedikit yg harus dikorbankan?????

Kawasan Konservasi Hutan Kota Mangrove Kota Balikpapan