KELOLA SUMBERDAYA ALAM DEMI MASA DEPAN ANAK CUCU KITA

Kamis, 29 April 2010

Kasus VICO Indonesia Dengan Masyarakat Penggarap Lahan Desa Semangko KM.5/KM.28 Kecamatan Marangkayu Kabupeten Kutai Kartanegara


A. Latar Belakang

Operasi pertambangan, pada umumnya telah menciptakan perubahan kondisi lingkungan yang sangat besar, dan seringkali diikuti dengan kehancuran dan pencemaran lingkungan. Bukan hanya itu, kegiatan pertambangan ternyata juga menjadi pemicu munculnya konflik antara masyarakat dan pemerintah, masyarakat dan perusahaan, dan bahkan antar masyarakat. Selama ini, konflik yang terekam umumnya terkait dengan batas wilayah konsesi pertambangan dengan tanah milik masyarakat.

Memburuknya kondisi lingkungan dan kebijakan lingkungan saat ini sangat berpengaruh terhadap hak hidup, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan dan pendidikan, serta hak asasi lainnya juga dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Disisi lain, degradasi lingkungan juga disebabkan oleh aktivitas ekonomi yang mengorbankan hak-hak sipil dan politik, seperti tidak adanya akses publik terhadap informasi, partisipasi, serta kebebasan untuk berbicara dan berkumpul. Banyak kasus menunjukkan pula bahwa upaya masyarakat yang mempertanyakan dan mempertahankan haknya justru mendapatkan tekanan Negara.

Menurunnya kualitas lingkungan hidup, air, udara maupun kerusakan alam lainnya merupakan bumerang dan akan menimbulkan bencana di kemudian hari. Tak dapat dihindari, rakyat lah yang pada akhirnya akan menjadi korban. Seharusnya pengakuan dan pemenuhan hak atas lingkungan ke dalam peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup adalah bagian dari pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) dan memberikan nilai kekuatan bagi masyarakat untuk menjalankan fungsi kontrol dalam masyarakat untuk mewujudkan lingkungan hidup yang sehat dan baik. Keterkaitan antara hak atas lingkungan tersebut, sedikitnya memberikan aspek perlindungan lingkungan hidup untuk terus menerus dikembangkan. Hal itu tidak terlepas dari prinsip-prinsip peran serta masyarakat dan perbaikan pada penentu kebijakan untuk mewujudkan aspek lingkungan hidup yang sehat.

Terkait dengan adanya aktivitas pertambangan, Kalimantan Timur adalah surga bumi. Kekayaan alam yang dikandungnya melimpah ruah, mulai dari daratan sampai lautan. Dengan luas wilayah 20. 867. 774 Ha atau 1, 5 lebih luas dari pulau Jawa ditambah pulau Madura, Provinsi benua etam ini menjadi sangat seksi baik secara ekonomi maupun secara politik. Secara Ekonomi, dengan potensi sumberdaya alam yang dimilikinya, khususnya potensi minyak dan gas (migas) serta batubara, Kalimantan timur menjadi harta karun yang senantiasa dikejar-kejar oleh para pemilik modal. Secara politik, Provinsi ini menjadi lahan sengketa khususnya oleh elite-elite pusat untuk dijadikan pundit-pundi dalam rangka membiayai aktifitas politiknya. Kolusi atau kerja sama yang “harmonis” antara elite Jakarta dan elite politik lokal dalam praksisnya ternyata hanya meninggalkan luka di hati masyarakat Kaltim.

Berdasarkan data Bappeda Kaltim, potensi sumberdaya alam yang dikandung oleh bumi etam, diantaranya, potensi cadangan minyak bumi mencapai 1, 78 Milyar barel atau 13% dari total cadangan nasional. Diperkirakan potensi minyak bumi ini masih bisa dieksploitasi sampai 15 tahun kedepan. Cadangan gas alam tercatat sekitar 51, 3 trilyun kaki kubik atau setara 30% cadangan gas alam nasional. Produksi gas alam tercatat sekitar 1, 134 milyar kaki kubik pada tahun 1998 dan pada tahun 2002 mencapai 1.648 milyar kaki kubik. Diperkirakan potensi gas alam tersebut masih bisa dikelolah 20-30 tahun kedepan.

Dalam konteks Kalimantan Timur, salah satu pertambangan migas yang sering dipermasalahkan oleh masyarakat adalah perusahaan Virginia Indonesia Company (VICO). Perusahaan ini telah terlibat dalam pengembangan gas alam dan minyak bumi Indonesia selama hampir 40 tahun. VICO merupakan perusahaan utama yang bergerak dibidang gas di Indonesia dengan ladang utama terbesar berada di Muara Badak (biasa disebut dengan Badak), Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Perusahaan VICO Indonesia masuk ke daerah Delta Mahakam tepatnya di Desa Tani Baru untuk melakukan kegiatan Survey Seismic 3D (Nilam Project) sehingga dampak dari kegiatan tersebut masyarakat mengalami kematian Udang secara massal dan berkurangnya Kepiting sebagai mata pencahrian masyarakat, hal ini juga dialami oleh pencari Nener dan Benur, ini semua di akibatkan oleh dampak dari kegiatan Seismic yang telah meninggalkan lubang-lubang bekas pemboran yang mengeluarkan gas-gas dan pembuatan rig. Kegiatan Survey Seismic 3D, yang di lakukan oleh PT. VICO Indonesia di Tani baru seluas 945 KM2. Dengan jarak antara sumur yang satu dengan yang lainnya 50 M2 dan jarak antara jalur yang satu dengan yang lainnya 250 M2. Dengan melihat luasan tersebut maka ada sebanyak 75.600 sumur yang berada di lokasi Tani Baru.

Dampak dari aktivitas Pertambangan Migas di Delta Mahakam tidak hanya menimbulkan kematian biota-biota yang ada di laut, Kerusakan lingkungan dan masalah yang lain tapi juga berdampak terhadap perempuan di Delta Mahakam. Kaum perempuan di Delta Mahakam yang mempunyai mata pencaharian sebagai pencari Nener (bibit udang alam) kehilangan mata pencaharian karena sejak adanya Seismic, pengeboran Sumur. Telah menyebabkan hilangnya Nener di perairan tersebut kalaupun ada itupun sangat sedikit. Sebelum adanya Seismic biasanya nener yang di tangkap sekali turun sebanyak 2500 ekor dengan panjang rumpon 500 M. tapi sejak adanya Seismic paling banyak di dapat 300 ekor. Kondisi masyarakat dengan mata pencaharian sebagai Nelayan dan Petambak telah mampu menghidupi keluarga demi kelangsungan hidup mereka. Boleh dikatakan masyarakat setempat hidup dalam kondisi yang sejahtera, hal ini terlihat dari kemapuan masyarakat setempat menyekolahkan anak-anak sampai perguruan tinggi serta mampu untuk menunaikan ibadah Haji. Dengan cara pola tradisional, Nelayan dan Petambak serta pencari Nener dan Kepiting, hasilnya sangat menguntungkan, untuk Petani Tambak penghasilan yang diperoleh setiap panennya berkisar antara 7-10 juta per hektar dengan 3 kali panen setahun, di samping itu untuk penghasilan Nelayan, pencari Kepiting, Udang bintik serta dari Nener/Benur (rumpon) rata-rata penghasilan mereka berkisar antara Rp.750.000 sampai Rp. 1.500.000 permusim (sirkulasi pasang surut).

Berbicara masalah kerusakan lingkungan yang di akibatkan dari aktivitas perusahaan Migas di Delta Mahakam ini agak sulit, karena pihak Perusahaan selalu berdalih bahwa itu bisa di sebabkan dari berbagai macam sumber misalnya dari industri rumah tangga, perusahaan kayu dll, tapi bila kita lihat dari dampak penyebab kematian udang serta biota laut ini di sebabkan karena adanya kegiatan dari perusahaan Migas tersebut, sehingga dapat di katakana bahwa sungai-sungai di Delta Mahakam Sudah tercemar. Karena hampir setiap panen masyarakat setempat mengalami kegagalan.

Karena tidak adanya niat baik dari perusahaan (Perusahaan Migas) untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi, maka tidak ada jalan bagi masyarakat selain melakukan perlawanan, untuk menuntut hak-hak mereka yang terampas dan di rusak. Bentuk perlawanan yang di lakukan oleh masyarakat di Delta Mahakam adalah Masyarakat Korban Migas mendatangi Kantor Gubernur pada tanggal 21 Oktober 1999, (Kecamatan Anggana, Marangkayu, Muara Badak) karena masyarakat beranggapan bahwa pemerintah harus terlibat dalam penyelesaian masalah ini. Upaya masyarakat tersebut menghasilkan kesepakatan akan diadakan pertemuan pada tanggal 3 Nopember 1999 dengan mengundang pihak UNOCAL, TOTAL serta VICO di tambah 22 Instansi Pemerintah yang di fasilitasi oleh asisten II Gubernur (Syaiful Teteng) ketika itu. Hasil dari pertemuan tersebut bahwa pihak perusahaan bersedia menyelesaikan tuntutan masyarakat, untuk memperkuat pernyataan tersebut dibuat dan di bubuhi materai 2000 yang nantinya akan disepakati pada pertemuan lanjutan yakni tanggal 4 Nopember 1999 di kantor Gubernur ruang asisten II, tapi keesokan harinya (sesuai dengan tanggal yang disepakati untuk pertemuan lanjutan yaitu tanggal 4 Nopember 1999) pihak perusahaan tidak hadir sementara pihak masyarakat sudah menunggu di kantor gubernur, karena pihak yang ditunggu tidak kunjung datang (pihak perusahaan) masyarakat akhirnya pulang ke kampung masing-masing.

Tindak lanjut dari ketidak hadiran Perusahaan Migas pada tanggal 4 Nopember 1999, maka pada tanggal 16 Nopember 1999 masyarakat Kampung Makasar mengadakan pendudukan lokasi operasional Total Indonesie di Tambora. Sedangkan masyarakat Tani Baru mengadakan aksi pendudukan di lokasi Muara Badak.

Persoalan antara perusahaan migas dengan masyarakat terus berlanjut, termasuk persoalan yang terjadi antara masyarakat KM. 28 dan perusahaan VICO Indonesia yang mempersoalkan adanya pembangunan jalan dan pipe line dari pos Badak menuju Bontang berdampak pada perubahan bentang alam yang mengakibatkan terbentuknya danau-danau buatan dan berpengaruh terhadap masyarakat setempat, karena proses penyelesaiannya masih tidak jelas maka masyarakat melalui perwakilannya mengadukan persoalan tersebut ke Komnas HAM.

Berangkat dari pemahaman tersebut, maka Komnas HAM membentuk tim, untuk melakukan proses pendalaman dan mengumpulkan fakta-fakta dilapangan yang kemudian akan dianalisis sebagai bahan/referensi dalam penyusunan rekomendasi. Analisis dilakukan untuk memotret apa yang sesungguhnya terjadi dengan suatu asumsi dasar bahwa pada derajat tertentu Komnas HAM melihat persoalan yang terjadi bukan semata-mata persoalan tindak pidana perusakan lingkungan tetapi juga melihat bagaimana tanggung jawab perusahaan terhadap pemenuhan hak asasi manusia khususnya hak ECOSOC.

B. Kasus Posisi

Adanya aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh Vico Indonesia terutama dalam hal pembangunan jalan dan pipe line dari pos Badak menuju Bontang berdampak pada perubahan bentang alam yang mengakibatkan terbentuknya danau-danau buatan. Ketika hujan deras danau yang terbentuk oleh pembangunan jalan tersebut perlu dibuatkan gorong-gorong yang pembuangannya langsung pada lahan pertanian warga, akibatnya air yang telah bercampur pasir, tanah, dan partikel menguras perbukitan hingga mengakibatkan erosi. Kejadian ini berlangsung sejak tahun 1983 hingga sekarang yang kemudian berpengaruh terhadap sumber pendapatan masyarakat setempat khususnya masyarakat penggarap.

Berdasarkan hal tersebut maka Pihak Pemerintah Daerah dalam hal ini Bapeldada Kabupaten Kutai Kartanegara membentuk tim pada bulan Februari 2005 yang melibatkan lintas bidang untuk melakukan investigasi kasus tersebut. Untuk mengetahui hasil investigasi yang telah dilakukan maka Sdr. Muchran. S. Melayangkan surat kepada Bapedalda tertanggal 25 April 2005 perihal ketegasn sikap (keputusan) dari hasil kerja tim tentang masalah erosi/ dugaan pencemaran. Merespon surat yang disampaikan oleh Sdr. Muchran. S. Maka pada tanggal 25 Juli 2005 Bapedalda menjelaskan hasil kerja tim melalui Surat No. 660.1/ /B.III.3/ 2005. Lampiran 1 (satu) Berkas. Perihal permintaan ketegasan sikap (keputusan) dari hasil tim tentang masalah erosi. Berdasarkan peninjauan lapangan oleh tim teknis dinas instansi terkait pada tanggal 17 Februari 2005 disampaikan hal sebagai berikut:

1. Kesimpulan dari Dinas Pertanian.


  • Bahwa pada tahun 1983/1986 kemungkinan lahan diusahakan untuk persawahan memang ada, dengan memanfaatkan kondisi lahan yang lapang/ pembukaan akibat kebakaran musim kemarau tahun 1982-1983,

  • Kondisi lahan yang terletak diantara dua gunung secara alamiah dapat terjadi sedimentasi akibat erosi hujan, dimana kondisi vegetasi dan lahan yang terbuka pada saat itu,

  • Daerah Lebak yang diklaim sebagai sawah merupakan tempat genangan air sehingga kurang potensial untuk diusahakan padi sawah dengan periode musiman

  • Sesuai keterangan dari Sdr. Bahri Sofyan lokasi tersebut pernah ditanami padi varletas kleno, namun sesuai literatur tidak terdapat varietas padi tersebut, baik lokal, unggul, maupun nasional.
2. Kesimpulan Dinas Perkebunan


  • Terdapat sebaran pasir pada lahan yang diklaim Sdr. Muchran yang berasal dari jalan jalur pipa KM. 28 dan dari galian pasir milik masyarakat yang mengalir melalui gorong-gorong jalur pipa pada saat musim hujan,

  • Pada lahan dominan ditumbuhi karang munting, predang dan jenis perdu lain dan tidak terlihat kerusakan permanen pada vegetasi yang ada,

  • Lahan digarap sejak tahun 1982/1983 dan ditinggal pada tahun 1986/1987, lahan gunung sebagai lahan kebun jambu mente,

  • Pada sumur samberah # 29 tidak terlihat tanda-tanda kerusakan disekitar lahan akibat kegiatan sumur samberah # 29 terhadap lahan warga.
3. Kesimpulan Bapedalda

Dilihat dari sumber dampak, fungsi dan peruntukan lahan dapat disimpulkan sebagai berikut:


  • Sebaran pasir yang terdapat diatas lahan yang diklaim Sdr. Muchran tidak hanya bersumber dari jalur pipa VICO Indinesia namun juga berasal dari kegiatan lahan kebun warga yang terdapat diatas gunung dan kegitan lain yang berpotensi terjadinya erosi pasir,

  • Fungsi dan peruntukan lahan tidak jelas peruntukannya, tidak terlihat tanda-tanda kegitan baru/ tidak terawat secara intensif sampai saat ini sebagaimana pengakuan yang tertuang dalam surat kepemilikan lahan, bahwa lahan dipelihara dan digarap sampai saat ini.
  • Lahan yang dikatakan sebagai lahan sawah warga sebelumnya merupakan alur air antara dua gunung yang kemudian dimanfaatkan warga sebagai lahan persawahan namun lahan tersebut kurang potensial untuk dijadikan lahan sawah, sedangkan lahan gunung merupakan semak belukar alang-alang bekas kebun jambu mente (terlihat ada beberapa pohon yang tersisa).
4. Kesimpulan Bagian Hukum Pemkab Kukar


  • Pengaduan yang sisampaikan oleh Sdr. Muchran tahun 2005, dengan proses awal terjadinya erosi tahun 1984/1986 berselang waktu belasan tahun (mengacu Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 Pasal 30-37), sehinngga tidak menutup kemungkinan terjadinya hal-hal lain sebagai penyebab erosi yang bukan diakibatkan oleh kegitan VICO Indonesia,

  • Anggapan terjadinya banjir dan erosi dilahan sawah KM. 28 berasal dari rembesan kegiatan sumur Samberah # 29, sulit untuk diterima karena lahan dan sumur samberah # 29 letaknya jauh dan diapit oleh dua gunung.

  • Kesimpulan rapat tanggal 24 April 2005 membahas hasil peninjauan lapangan yang dilaksanakan dikantor Bapedalada dengan hasil sebagaimana berita acara terlampir, untuk dapat dipahami dan dimaklumi adanya.

  • Disarankan kepada Sdr. Muchran apabila dalam penanganan yang dilakukan oleh Tim Pemkab Kutai Kartanegara kurang memuasakan harapan, dapat menindaklanjuti ketingkat yang lebih tinggi (Tingkat Provinsi) atau dibawa kejalur hukum.
Surat penjelasan dari Bapedalda tersebut ditandatangani oleh Kepala Bapedalda Kutai Kartanegara Dra. Rini Budi Sayekti dan ditembuskan kepada Ketua Bapedalda Provinsi Kaltim di Samarinda, Ketua DPRD Kalimantan Timur di Samarinda, Bupati Kutai Kartanegara di Tenggarong, Ketua DPRD Kutai Kartanegara di Tenggarong, Camat Marangkayu di Marangkayu, Kepala Desa Subuntal di Marangkayu, dan Kepala Desa Semangko di Marangkayu.

Samapai sejauh ini Pihak VICO Indonesia masih tetap berpedoman pada hasil tim yang dibentuk oleh BAPEDALDA No. 6601.1/ B.III.3/2005 tanggal 25 Juli 2005, dimana tidak terbukti bahwa VICO Indonesia menjadi penyebab rusaknya lahan pertanian yang diklaim warga, oleh karenanya apabila masyarakat masih tidak puas akan hasil tersebut sudah selayaknya melalui jalur hukum apapun hasilnya VICO Indonesia siap melaksanakan keputusan hukum tersebut.

Komnas HAM menerima pengaduan dari masyarakat sejak tahun 2005 dan sudah mengirimkan permintaan informasi dan klarifikasi sebanyak 2 (dua) kali namun sampai Desember 2008 belum ada tanggapannya. Hingga akhirnya pada bulan Desember 2008, Sdr. Muchran selaku kuasa masyarakat melakukan pengaduan langsung dan meminta difasilitasi pertemuan (mediasi) dengan perusahaan dan pemerintah daerah serta provinsi terkait permasalahan KM 28 dan KM 5 tersebut dimana dengan tegas pengadu menolak hasil bentukan tim pemda Kutai Kartanegara yang diindikasikan penuh rekayasa dan intervensi, hingga mengharapkan pihak Komnas HAM untuk turun tangan membantu para warga penggarap yang menjadi korban perusahaan-perusahaan besar, mereka juga melihat terjadi perlakuan diskriminatif oleh Vico Indonesia dimana KM 10 yang mengalami erosi yang sama dengan skala yang lebih kecil justeru diberikan ganti rugi sebesar 2 milyar rupiah, kenapa KM 28 sampai sekarang tidak jelas tindak lanjutnya.

Berdasarkan hal tersebut, maka sesuai dengan fungsi Komnas HAM sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa Komnas HAM mempunyai fungsi pengkajian dan penelitian, penyuluhan, pemantauan, serta mediasi .

Dalam menyelesaikan kasus tersebut maka Komnas HAM menjalankan fungsinya dalam pemantauan dengan melakukan pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya, pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan. Namun upaya tersebut tidak mendapat respon dari pihak yang diadukan sehingga upaya selanjutnya Komnas HAM melakukan peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu. Diselah-selah waktu peninjauan terhadap lokasi yang dipersoalkan maka Komnas HAM mencoba menjalankan fungsinya dalam hal mediasi dengan mengadakan perdamaian antar pihak-pihak yang bertikai, menyelesaikan perkara melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. upaya-upaya yang dilakukan Komnas HAM tersebut menuai jalan buntuh sehingga tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bertikai, sebab diantara pihak yang bertikai memilih jalan penyelesaian perselisihan yang berbeda.

Pihak VICO Indonesia menginginkan dalam hal penyelesaian kasus yang terjadi sebaiknya menempuh jalur hukum dengan konsekwensi apapun yang telah menjadi putusan pengadilan nanti akan dipatuhi pihak VICO Idonesia. Sementara pihak masyarakat tetap memilih bahwa proses penyelesain kasus yang terjadi ditempuh melalui jalur luar pengadilan dengan meminta kepada Komnas HAM untuk memfasilitasi proses penyelesaian kasus tersebut, karena mediasi yang coba dilakukan Komnas HAM gagal maka Komnas HAM selanjutnya akan menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya dan juga nantinya akan menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk ditindaklanjuti.

C. Ruang Lingkup Pembahasan

Ruang lingkup kajian ini menitik beratkan pada persoalan antara pihak Perusahaan VICO Indonesia dengan masyarakat KM. 28 dan KM. 5 yang mempersoalkan adanya pembangunan jalan dan pipe line dari pos Badak menuju Bontang berdampak pada perubahan bentang alam yang mengakibatkan terbentuknya danau-danau buatan dan berpengaruh terhadap masyarakat setempat, terutama dalam hal ekonomi, sosial dan kesehatan.

Masyarakat merasa keberatan dengan adanya aktifitas pembangunan pipa dan jalan dari Badak menuju Bontang sehingga menuntut penyelesaian ganti rugi dengan melihat kondisi dan dampak yang ditimbulkan. Karena proses penyelesaiannya tak kunjung selesai maka masyarakat meminta kepada Komnas Ham untuk mefasilitasi persoalan tersebut melalui jalur mediasi namun demikian mediasi gagal dilakukan sebab pihak VICO Indonesia Samapai sejauh ini tetap berpedoman pada hasil tim yang dibentuk oleh BAPEDALDA No. 6601.1/ B.III.3/2005 tanggal 25 Juli 2005, dimana tidak terbukti bahwa VICO Indonesia menjadi penyebab rusaknya lahan pertanian yang diklaim warga, oleh karenanya apabila masyarakat masih tidak puas akan hasil tersebut sudah selayaknya melalui jalur hukum apapun hasilnya VICO Indonesia siap melaksanakan keputusan hukum tersebut.

Berangkat dari pemahaman tersebut, maka Komnas HAM membentuk tim, untuk melakukan proses pendalaman dan mengumpulkan fakta-fakta dilapangan yang kemudian akan dianalisis sebagai bahan/referensi dalam penyusunan rekomendasi. Analisis dilakukan untuk memotret apa yang sesungguhnya terjadi dengan suatu asumsi dasar bahwa pada derajat tertentu Komnas HAM melihat persoalan yang terjadi bukan semata-mata persoalan tindak pidana perusakan lingkungan tetapi juga melihat bagaimana tanggung jawab perusahaan terhadap pemenuhan hak asasi manusia khususnya hak ECOSOC.

Kajian ini bertujuan mengumpulkan fakta-fakta lapangan sebagai bagian analisis dampak operasional perusahaan terhadap pemenuhan hak asasi manusia khususnya hak ECOSOC dengan Out put Kajian analisis dampak perusahaan terhadap pemenuhan hak asasi manusia.

D. Indikator Sasaran (Outcome)

Mendapatkan hasil kajian dan analisis dampak sosial dan ekonomi terhadap pemenuhan hak asasi manusia sebagai referensi penyusunan rekomendasi Komnas HAM kepada DPR dan Presiden.

E. Metodologi

Penggalian data dan informasi dalam kegiatan ini menggunakan metode Focus Groups Discussion (FGD) dan Penijauan Lapangan. FGD dilakukan melalui pertemuan antara Tim Komnas HAM dengan Masyarakat KM 5 Desa Semangko Kecamatan Marangkayu yang terkena kasus dengan VICO Indonesia. Peninjauan lapangan dilakukan dengan melihat bukti-bukti sawah yang rusak dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktifitas VICO Indonesia.

F. Pelaksanaan Kegiatan

Pelaksanaan kegiatan diawali dengan melakukan investigasi dan mediasi dengan Masyarakat Desa Semangko KM. 5 dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober – 02 November 2009, yang kemudian dilanjutkan dengan penulisan laporan kegiatan dari tanggal 2 November – 15 November 2009. Pelaksana kegiatan ini terdiri dari Ridha Saleh (Wakil Ketua Komnas HAM), Andrie Wahyu Cahyadi (Komnas HAM), Imelda Saragih (Komnas HAM), Ely Dinayanti (Komnas HAM), Fadli Moh. Noch (IHSA Kaltim) dan Muhammad Nasir (IHSA Kaltim).

Tidak ada komentar:

Kawasan Konservasi Hutan Kota Mangrove Kota Balikpapan