KELOLA SUMBERDAYA ALAM DEMI MASA DEPAN ANAK CUCU KITA

Selasa, 27 April 2010

Gap Analisis Kebijakan Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

Ringkasan Eksekutif
Salah satu isu yang selama ini telah menjadi keprihatinan bersama, baik pada tingkat lokal, nasional maupun global adalah keberlanjutan lingkungan hidup. Isu tersebut muncul karena adanya keterbatasan daya dukung lingkungan di satu sisi dan pola eksploitasi lingkungan hidup yang luar biasa di sisi lain. Jika pola eksploitasi yang sekarang ini diteruskan maka tidak mustahil lingkungan hidup dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya akan hilang. Demikian halnya dengan deforestasi dan degradasi lahan, serta dikonversinya kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit juga merupakan kegiatan yang memberikan kontribusi dalam penurunan kualitas lingkungan hidup itu sendiri.


Provinsi Kalimantan Timur (Prov. Kaltim) merupakan salah satu daerah penghasil produk perkebunan terbesar di Indonesia selain Sumatera dan Kalimantan lainnya. Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Prov. Kaltim, hingga bulan Juni 2007 Perkebunan Besar Swasta (PBS) di Prov. Kaltim memiliki luas areal berdasarkan proses legalitasnya berturut-turut sebagai berikut: Ijin lokasi awal seluas 2.400.787 Ha, Ijin lokasi perpanjangan seluas 487.540 Ha, Ijin Usaha Perkebunan (IUP) seluas 1.256.925,12 Ha, Ijin Pencadangan Pelepasan Kawasan Hutan seluas 205.476 Ha, Pelepasan Kawasan Hutan seluas 432.038,68 Ha serta Hak Guna Usaha (HGU) seluas 392.605,22 Ha yang kesemuanya tersebar di 10 Kabupaten/Kota. Sementara itu untuk Pabrik Kelapa Sawit (PKS), Prov. Kaltim memiliki sebanyak 11 buah dengan kapasitas 15-80 ton TBS/jam yang tersebar di 5 Kabupaten. Dari segi pendapatan negara, tahun 2005 telah memberikan kontribusi devisa sebesar Rp. 1,833 Trilyun.

Dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur 2005-2025. Kaltim memperluas KBNK menjadi 6,51 Juta Ha, didalamnya terdapat peruntukan khusus perkebunan dikembangkan menjadi 4,7 juta Ha. Terlihat bahwa ke depan pemerintah Prov. Kaltim masih berkeinginan menjadikan sub sektor perkebunan menjadi salah satu alternatif program unggulan. Bergulirnya kebijakan nasional untuk memperbesar kualitas penyelenggaraan otonomi daerah melalui UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 yang selanjutnya diganti dengan UU No. 32 dan No. 33 tahun 2004 yang merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan dari bergulirnya gerakan reformasi. Meskipun demikian tidak jarang terjadi gap antara kebijakan otonomi daerah dengan implementasinya. Sebagai salah satu produk kebijakan pemerintah, peraturan perundang-undangan yang mengatur otonomi daerah harus diimplementasikan dan dievaluasi sehingga dapat dinilai tingkat keberhasilannya baik pada proses implementasi maupun pada output dan outcome, yang diakibatkan oleh kebijakan dimaksud.

Bertitik tolak dari hal tersebut maka dilakukan studi yang didasarkan pada kajian kepustakaan, dimana yang ditelaah adalah bahan hukum, baik primer, sekunder maupun tersier. Studi dokumen dilakukan dengan menginventarisasi dan mengkompilasi beberapa data peraturan perundangan baik di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten yang kemudian akan diamati secara normatif dari implementasi peraturan kebijakan tersebut. Untuk mencari hubungan antar variable, Studi gap analisis ini memposisikan kebijakan politik desentralisasi pembangunan perkebunan kelapa sawit sebagai variable independent yang coba diukur dengan entitas terminologi dari desentralisasi itu sendiri, yaitu masalah kewenangan. Baik kewenangan yang sifatnya teknis administratif maupun kewenangan yang sifatnya mengatur dan mengurus.

Di era otonomi daerah, kebijakan perkebunan kelapa sawit tidak terlepas dengan adanya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yang memberikan peluang kepada daerah untuk mengelolah sub sektor perkebunan meskipun hanya sebatas pada urusan pilihan. Demikian pula halnya dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang menyatakan dengan jelas mengenai pembagian kewenanagan tersebut, termasuk pengaturan yang bersifat kolaboratif.

Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, juga menjadi landasan bagi kebijakan perkebunan di Indonesia dengan mengamanatkan 13 (tiga belas) peraturan pelaksanaan yang terdiri dari 5 (lima) Peraturan Pemerintah, 1 (satu) Peraturan Presiden dan 7 (tujuh) Peraturan Menteri Pertanian. Khusus perizinan diatur melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 357/Kpts/HK.350/5/2002 yang kemudian diubah menjadi Peraturan Menteri Pertanian No. 26/Permentan /OT.140/2/2007 tentang Pedoman perizinan Usaha Perkebunan. Sementara dalam rangka pengembangan sistem dan usaha agribisnis perkebunan secara optimal, pemerintah menggunakan pendekatan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN), yang mana Pedoman Kriteria dan Standar Klasifikasi KIMBUN dituangkan dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 633/Kpts/OT.140/10/2004.

Terkait dengan kebijakkan HoB dibuat suatu kesepakatan antara 3 (tiga) negara yaitu Brunei Darussalam, Malayasia dan Indonesia. Kesepakatan yang dibuat dirumuskan ke dalam bentuk “Deklarasi Heart of Borneo” yang ditandatangani Pejabat setingkat Menteri dari masing masing negara tersebut. Salah satu bentuk kesepakatan yang dihasilkan mengusulkan cakupan luas wilayah kerja HoB di tiga negara yang diperkirakan luasannya sebesar 22 juta hektar yang secara ekologis saling terhubung. Dari keseluruhan wilayah kerja HoB, 57 % berada di Indonesia, 42 % di Malaysia dan 1 % di Brunei Darussalam.

Pada tingkat daerah yaitu Provinsi Kaltim, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Malinau dan Kabupaten Nunukan. Penerapan kebijakan perkebunan kelapa sawit memberdayakan di hulu dan memperkuat di hilir guna meningkatkan nilai tambah dan daya saing usaha perkebunan, dengan pemberian insentif, penciptaan iklim usaha yang kondusif dan peningkatan partisipasi masyarakat perkebunan serta penerapan organisasi modern yang berlandaskan pada penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Selain itu diatur juga regulasi kebijakan perkebunan yang dikembangkan daerah (Provinsi Kaltim) dalam bentuk peraturan daerah diantaranya: Perda Nomor 05 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah Daerah Kalimantan Timur; Perda No. 15 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Kalimantan Timur 2005-2025; dan Perda No. 03 Tahun 2008 tentang Kemitraan Pembangunan Perkebunan Di Provinsi KalimantanTimur. Perda tersebut merujuk pada konsep otonomi daerah untuk memperkuat legitimasi daerah dalam hal kewenangan (pembagian urusan) pembangunan perkebunan kelapa sawit di daerah, sekaligus implementasi dari peraturan perundangan yang ada diatasnya (UU No. 18 Tahun 2004) berkaitan dengan arah perencanaan usaha perkebunan sekaligus kemitraan. Dengan diterbitkannya Perda-perda tersebut maka arah perencanaan pembangunan perkebunan di Kalimantan Timur dapat dikatakan senafas dengan arah kebijakan nasional.

Pada tingkat Kabupaten Kutai Barat regulasi kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit terdapat pada beberapa Perda yang telah diterbitkan yaitu: Perda Nomor 02 Tahun 2001 tentang Kewenangan Kabupaten; Perda Nomor 08 Tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertanian Kabupaten Kutai Barat; Perda Nomor 11 Tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertanahan Kabupaten Kutai Barat; Perda Nomor 18 Tahun 2002 tentang Kehutanan Daerah; Perda Nomor 12 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Perusahaan; Perda Nomor 32 Tahun 2005 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kutai Barat; Perda Nomor 05 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pemberian Izin Lokasi.

Untuk Kabupaten Nunukan, arah kebijakan di sektor perkebunan yang telah diterapakan sejak berlakukanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, diterapkan melalui Peraturan Daerah yang berkaitan dengan arah kebijakan pembangunan perkebunan kelapa sawit di daerah tersebut, diantara perda tersebut adalah: Perda No. 40 Tahun 2003 tentang Prosedur Pemberian Izin Kegiatan Bidang Perkebunan di Kabupaten Nunukan; Perda No. 03 Tahun 2003 tentang Izin Eksplorasi Air Bawah Tanah, Pengeboran, Penurapan Mata Air, Pengambilan Air Bawah Tanah dan Mata Air; Perda No. 26 Tahun 2003 tentang Izin Usaha Pengumpulan Hasil Hutan Bukan Kayu; Perda No. 34 Tahun 2003 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat dalam wilayah Kabupaten Nunukan; Perda No. 3 Tahun 2004 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat; Perda No. 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh dan Perda No. 22 Tahun 2008 Tentang pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Nunukan Sementara untuk Kabupaten Malinau, berkenaan dengan perkebunan kelapa sawit, terdapat beberapa perda terkait, antara lain: Perda No. 15 Tahun 2002 tentang Ijin Usaha Industri, Tanda Daftar Industri dan Ijin Perluasan; Perda No. 5 Tahun 2003 tentang Perijinan Usaha Perkebunan; Perda No. 9 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; Perda Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Malinau; Perda No. 12 Tahun 2005 tentang Izin Lokasi Atas Tanah; Perda No. 13 Tahun 2005 tentang Ijin Memakai Tanah Negara dan Perda Nomor 4 Tahun 2007 Tentang Kabupaten Malinau Sebagai Kabupaten Konservasi.

Perda-perda diatas dikaji untuk mengukur sekaligus mengetahui sejauh mana relevansi hukumnya dengan peraturan yang ada di atasnya, apakah dalam proses pembuatannya telah memperhatikan prinsip ketaatan untuk mematuhi tata urutan atau hirarki Peraturan Perundang-undangandan yang ada diatasnya sekaligus untuk mengetahui apakah ada atau tidaknya gap secara vertikal dan horizontal. Pengkajian dilakukan melalui pendekatan kewenangan, perencanaan perkebunan, kebijakan perijinan perkebunan, konsep perijinan terpadu, dan hak kewajiban serta peran serta masyarakat dengan mensinergikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan serta Peraturan Perundangan lainnya yang ada korelasinya dengan kajian ini.

Dari hasil kajian yang dilakukan maka kebijakan perijinan perkebunan kelapa sawit di daerah seharusnya mengacu pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan beserta Peraturan Pelaksananya. Kebijakan perizinan yang terdapat dalam Perda yang dikeluarkan oleh Kabupaten Kutai Barat, Malinau, dan Nunukan sudah banyak tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan usaha Perkebunan. Hal itu misalnya terlihat dari jenis dan perizinan usaha perkebunan, syarat memperoleh izin, kemitraan dan pembinaan dan pengawasan.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berserta turunannya, khususnya PP No. 38 Tahun 2007 tentang Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah adalah titik tolak untuk instansi mana yang berwenang memberi izin, melakukan pembinaan dan pengawasan serta memberikan sanksi. Apabila mencermati ketentuan yang terdapat dalam beberapa Perda yang dikeluarkan oleh Kabupaten Kutai Barat, Malinau, dan Nunukan sebagaimana yang disebutkan di atas, maka Perda-perda tersebut sudah seharusnya diubah bahkan diganti sehingga senafas dengan peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan daerah yang berlaku saat ini. Terdapat beberapa perubahan tentang tupoksi instansi pemerintahan di daerah, termasuk eksistensi beberapa instansi (termasuk nomenklatur yang digunakan) yang dinilai tidak relevan lagi sehingga harus digabung atau berdiri sendiri.

Dari studi yang dilakukan maka dapat dikemukakan beberapa hal yang terkait dengan hubungan antar perda yang dikelurkan masing-masing Kabupaten. Perda yang ada belum mencerminkan keterkaitan dan keterpaduan anta sektor. Keterpaduan di antara sektor-sektor yang berbeda baik diantara sektor-sektor pemerintahan yang mengelola SDA dan sektor ekonomi serta dengan sektor-sektor lain yang mempengaruhi kondisi SDA. Masing-masing Perda terkesan berdiri sendiri, tidak memiliki keterkaitan antara yang satu dengan lainnya. Demikian pula dalam hal Integrasi antara wilayah hulu hilir dalam kesatuan ekosistem seharusnya menjadi pertimbangan dalam perda yang terkait dengan perizinan. Terdapat hubungan yang kuat antara aktivitas di wilayah hulu dan di wilayah hilir. Tidak terlihat misalnya apakah menjadi pertimbangan pemberian izin di daerah hulu akan berdampak atau tidak terhadap daerah hilir. Beberapa Perda yang dikeluarkan oleh masing-masing kabupaten misalnya Perda Nomor 4 Tahun 2007 Tentang Kabupaten Malinau Sebagai Kabupaten Konservasi memang mengamanatkan keterpaduan ini, akan tetapi bagaimana dengan Perda lain? Seharusnya perda ini menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam pengambilan kebijakan perizinan di bidang perkebunan kelapa sawit.

Dari segi subtansi, pada titik ini terlihat bahwa dalam beberapa Perda, aspek pengelolaan sumberdaya alam diperlakukan sebagai subyek perizinan tetapi aspek-aspek penting pengelolaan sumberdaya alam tidak diakomodir. Hal itu terlihat dari persyaratan perizinan yang ditetapkan. Pada sebagian perda misalnya, aspek keberlanjutan, transparansi dan peranserta masyarakat belum terlihat. Meskipun pada beberapa Perda yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Barat khusus mengenai pengakuan terhadap hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat telah diakomodir misalnya dalam Perda Nomor 32 Tahun 2005 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kutai Barat, Perda Kubar No. 18 Tahun 2002 tentang Kehutanan Daerah (terkait dengan pengakuan terhadap masyarakat dalam hal pengelolaan kehutanan), dan Perda Nomor 12 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Kehutanan Masyarakat, namun sampai sejauh ini keterlibatan masyarakat didalamnya masih di atur secara umum dan terfokus pada pengelolaan kehutanan saja. Sementara khusus keterlibatan masyarakat dalam hal pengembangan perkebunan kelapa sawit sampai sejauh ini belum terlihat.
Kondisi serupa juga terjadi dalam hal kebijakan yang mengatur hak-hak masyarakat adat atas pembangunan perkebunan kelapa sawit, sampai sejauh ini belum terlihat Perda yang mengatur secara khusus tentang pengembangan perkebunan dan didalamnya mengatur khusus mengenai pengakuan hak-hak masyarakat adat, yang ada untuk saat ini pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dalam konteks kehutanan.

Berkaitan dengan proses pelayanan perijinan pengembangan perkebunan kelapa sawit di daerah sampai sejauh ini hal tersebut belum maksimal, meskipun masing-masing daerah telah mengelurkan Perda yang berkaitan dengan konsep pelayanan perijinan terpadu misalnya Kabupaten Nunukan untuk memperkuat peran Pemerintah Daerah dalam proses pemberian izin usaha di Kabupaten Nunukan, Pemerintah daerah membentuk Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPPT), yang peran dan fungsinya tercantum dalam Perda No. 22 Tahun 2008 Tentang pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Nunukan. Pelayanan perijinan perkebunan kelapa sawit yang tidak maksimal juga terjadi di Kabupaten Kutai Barat. Tidak kurang 6 (enam) SKPD yang harus dilalui untuk mendapatkan izin usaha perkebunan, dengan kondisi tersebut proses birokrasi menjadi panjang, berbelit, dan lambat sehingga menghambat investasi disektor pertanian. Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan wadah penerapan proses perizinan yang efisien, efektip dan biaya murah, yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dan investor apabila ingin mengembangkan usaha perkebunan, misalnya menerapkan Konsep Perizinan Satu Atap atau Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, dengan konsep satu pintu maka waktu pengurusan perizinan bisa jauh lebih cepat. Konsep ini digulirkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pelaku usaha pertanian yang didalamnya mencakup kegiatan usaha peternakan, perkebunan, hortikultura, usaha input seperti bibit, benih dan pupuk.

Bertitik tolak dari persoalan yang terjadi maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan perizinan di bidang perkebunan kelapa sawit yang terkait dengan jenis dan perizinan usaha perkebunan, syarat dan prosedur perizinan, dan peranserta masyarakat di Kabupaten Kutai Barat, Nunukan dan Malinau sudah tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan serta peraturan pelaksanaannya, khusunya Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan usaha Perkebunan. Sedang di bidang kewenangan dan kelembagaan perizinan, kebijakan tersebut tidak sesuai dengan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Kebijakan perizinan yang tertuang dalam Perda di Kabupaten Kutai Barat, Nunukan dan Malinau belum mencerminkan keterpaduan antarsektor, belum mempertimbangkan keterkaitan antar wilayah geografis dan dalam beberapa hal substansi perda yang ada belum lengkap. Ketentuan ketentuan dalam Peraturan perundangan yang mengatur pembangunan perkebunan kelapa sawit, terutama di tingkat Kabupaten belum mengacu pada prinsip good governance seperti yang dicantumkan dalam RSPO, sehingga diperlukan suatu pengaturan khusus yang mengakomodir prinsip good governance yang akan mendukung Pembangunan perkebunan kelapa sawit di kawasan Heart of Borneo.

Untuk itu Pemerintah Kabupaten Kutai Barat, Nunukan dan Malinau perlu menyesuaikan perda yang terkait dengan kebijakan perkebunan di daerahnya dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan serta peraturan pelaksanaannya, khusunya Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan usaha Perkebunan. Dan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Kebijakan perizinan perkebunan di Kabupaten Kutai Barat, Nunukan dan Malinau perlu mempertimbangkan keterpaduan antarsektor dan keterkaitan antar wilayah geografis juga seharusnya mengakomodir prinsip good governance yang akan mendukung Pembangunan perkebunan kelapa sawit di kawasan Heart of Borneo. Mengingat kawasan Heart of Borneo bersifat lintas Kabupaten, maka kewenangan pengelolaannya ada pada Pemerintah Provinsi dan untuk itu diperlukan kebijakan khusus bidang perkebunan (kelapa sawit) pada tingkat provinsi.

Tidak ada komentar:

Kawasan Konservasi Hutan Kota Mangrove Kota Balikpapan