KELOLA SUMBERDAYA ALAM DEMI MASA DEPAN ANAK CUCU KITA

Selasa, 15 Februari 2011

Catatan Singkat Peranserta Masyarakat Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan

Catatan Singkat Mengenai Peranserta Masyarakat Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan

Oleh: Fadli Moh. Noch

Penyusunan Peraturan Perundang-undangan adalah proses interaksi, relasi dan kebersamaan yang melibatkan berbagai pihak kepentingan meliputi unsur-unsur; pemerintah/pemerintah daerah, lembaga supra struktur, infrastruktur, lembaga sosial masyarakat, akademisi, organisasi profesional, organisasi kemasyarakatan, dan masyarakat lainnya selaku pemangku kepentingan (stakeholders). Unsur-unsur pemangku kepentingan tersebut secara emosional, struktural dan kontekstual, memiliki kesamaan kepentingan, yaitu memperjuangkan masalah yang dihadapi dan dirasakannya untuk mendapatkan pemecahannya. Kalau kita memandang komponen masyarakat dengan berbagai masalahnya, dan komponen pembuat keputusan berkewajiban memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat, kedua komponen tersebut sangat penting dalam policy process. Diperlukan kebersamaan untuk menselaraskan persepsi dan cara berfikir, cara pandang dalam melihat masalah dan kepentingan masing-masing.
Read More.....


Dengan prinsip kebersamaan dalam proses penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang muncul dan berkembang di masyarakat dengan berbagai perbedaannya, harus dikelola menjadi masalah bersama dan dipecahkan bersama, untuk kepentingan bersama. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada hakekatnya dapat dilakukan untuk tujuan yaitu: memformalkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (mengakomodir norma menjadi norma hukum). Kedua; menciptakan perubahan berdasarkan visi dan misi, dengan membuat aturan-aturan yang mengakomodasi nilai-nilai yang berkembang dan berbeda dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat, sehingga mengubah dan/atau memarjinalkan nilai-nilai masyarakat yang ada.
Kerjasama dan pelibatan pemangku kepentingan, merupakan kaidah yang harus dipenuhi dalam proses penyusunan Peraturan Perundang-undangan, dan sangat menentukan keberhasilan dalam proses dan prosedur penyusunan dan pembentukan, serta dalam pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan (diterima masyarakat). Menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintahan daerah untuk menumbuh kembangkan hubungan (relasi) kebersamaan dengan mengenali, memahami nilai-nilai di masyarakat dan masalah yang harus dipecahkan bersama di dalam proses penyusunan peraturan daerah. Dengan pendekatan kesejahteraan dan pengayoman, perbedaan pandangan, kebutuhan dan kepentingan antara pemerintah dengan masyarakat luas dapat diseimbangkan dan disesuaikan, dan yang paling penting diterima oleh pihak yang kena dampaknya. 

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan proses yang dinamis yang secara terus menerus mengalami perubahan, sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum yang berkembang di masyarakat. Disamping itu, pengaruh globalisasi yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, telah membuka sekat-sekat pembatas wilayah teritorial dan wilayah kepentingan. Selain itu, teknologi komunikasi dan informasi memberi akses kemudahan yang mendekatkan relasi kepentingan; antara kepentingan negara/pemerintah dengan warga negara atau rakyatnya, antara kepentingan sesama warga negara, dan antara kepentingan warganegara suatu negara dengan warganegara dari negara lain.

Globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, dilihat dari kacamata pemberdayaan masyarakat, berpengaruh positif, yaitu terbukanya akses rakyat selaku pemangku kepentingan untuk mendapatkan informasi dan menyampaikan aspirasinya. Dinamika pengaruh lingkungan global dan regional, mendorong perubahan paradigma pengambil kebijakan, dengan memberikan akses kepada masyarakat mendapatkan kesempatan terlibat atau berperan aktif dalam proses penyusunan dan pembentukan suatu Peraturan Perundang-undangan, dan melakukan pengawasan publik atas pelaksanaan suatu Peraturan Perundang-undangan atau kebijakan publik.

Partisipasi masyarakat atau pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan, mendapat tempat dan diatur, antara lain dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, dan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005. Secara garis besar pengaturan Partisipasi Masyarakat dalam Peraturan Perundang-undangan tersebut, dapat diuraikan pada bagian berikut ini.

1.Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004

a. Undang-undang.

Dalam Pasal 22 ayat (1) disebutkan bahwa penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden, maka penyebarluasannya dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. Dalam penjelasan Pasal ini dinyatakan bahwa ”maksud penyebarluasan …, adalah agar khalayak ramai mengetahui adanya Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat guna memberikan masukan atas materi yang sedang dibahas. Penyebarluasan dilakukan baik melalui media elektronik, seperti TV, Radio, internet maupun media cetak seperti surat kabar, majalah dan edaran.

b. Peraturan Daerah

Terkait dengan penyebarluasan Raperda, dalam Pasal 30 ayat (1) ditegaskan bahwa jika Raperda berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka penyebarluasannya dilaksanakan oleh Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sementara jika Raperda tersebut berasal Gubernur atau Bupati/Walikota, penyebarluasaannya dilaksanakan oleh Sekretariat Daerah (Pasal 30 ayat 2).

Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa sebagaimana Rancangan Undang-Undang, Raperda juga disebarluaskan, misalnya melalui TVRI, RRI Internet, media cetak seperti, surat kabar, majalah dan edaran di daerah yang bersangkutan, sehingga khalayak ramai mengetahui adanya Raperda yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan. Dengan demikian masyarakat dapat memberikan masukan atas materi Raperda yang sedang dibahas tesebut.

Peranserta masyarakat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan ini dijamin dalam Pasal 53, dimana secara tegas dinyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan Undang-Undang dan rancangan Peraturan Daerah. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan peraturan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

2. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005

Pada Pasal 10 ayat (5) disebutkan bahwa dalam pembahasan Rancangan Undang-undang di tingkat Panitia Antar Departemen, Pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi, atau organisasi di bidang sosial, politik, profesi, dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam Rancangan Undang-Undang. Selanjutnya dalam Pasal 13 ayat (1), dijelaskan bahwa dalam rangka penyempurnaan Rancangan Undang-Undang Pemrakarsa dapat menyebarluaskan Rancangan Undang-Undang kepada masyarakat. Hasil penyebarluasan tersebut kemudian dijadikan bahan oleh Panitia Antar Departemen untuk Rancangan Undang-Undang. Dalam Pasal 41, secara jelas disampaikan bahwa dalam rangka penyiapan dan pembahasan Rancangan Undang-undang, masyarakat dapat memberikan masukan kepada Pemrakarsa. Masukan tersebut dilakukan dengan menyampaikan pokok-pokok materi yang diusulkan. 

Dari ketentuan pasal-pasal tersebut diatas, memberikan gambaran bentuk kegiatan partisipasi masyarakat atau pelibatan peran masyarakat luas dan/atau pemangku kepentingan di dalam proses penyusunan dan pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dan apabila didalami, kegiatan partisipasi masyarakat tersebut, dilakukan sesuai dengan kebutuhannya, yaitu pada saat proses penyusunan, proses pembahasan di lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan, dan setelah peraturan perundang-undangan diundangkan untuk diberlakukan dan dilaksanakan. Pengaturan partisipasi masyarakat dalam peraturan perundang-undangan tersebut, merupakan langkah positif dan sangat baik dalam kerangka pemberdayaan masyarakat untuk berperan aktif di dalam proses legislasi. Namun demikian, apabila dicermati dari bentuk kegiatannya, yaitu penyebarluasan Rancangan Undang-undang atau Undang-undang, dan kesempatan masyarakat memberikan masukan tertulis atau lisan melalui dialog dan/atau hearing, memberikan makna bahwa Pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat dalam merumuskan bentuk kegiatan partisipasi masyarakat tersebut, lebih didasarkan pada pendekatan stelsel pasif. Artinya masyarakat luas dianggap tahu dan mengerti dengan sendirinya tentang masalah. isi dan maksud suatu Peraturan Perundang-undangan, dan masyarakat dianggap tahu dan mengerti bagaimana menggunakan haknya untuk memberikan masukan.

Persoalan yang kemudian muncul adalah apabila partisipasi masyarakat sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan tersebut, realitasnya dirancang untuk: proses mendapatkan legitimasi; memenuhi persyaratan kaidah proses penyusunan Peraturan Perundang-undangan; dan formalitas untuk memenuhi persyaratan prinsip-prinsip demokrasi dan good governance; atau untuk meredam gejolak dan/atau penolakan sebagian masyarakat.

Dilihat dari cakupan obyek yang dituju dan jangkauan wilayahnya, pendekatan penyebarluasan Rancangan Undang-undang dengan menggunakan sarana dan prasarana teknologi, komunikasi dan informasi dianggap efisien dan efektif. Pendekatan tersebut dianggap mampu menjangkau masyarakat luas, dan dapat mencerminkan pelaksanaan prinsip demokrasi dalam proses legal drafting. Dilihat dari media antara yang digunakan, sasarannya adalah kelompok masyarakat dan/atau pemangku kepentingan yang relatif memliki kemampuan dan kemudahan memperoleh informasi melalui media elektronik dan cetak. Pendekatan ini lebih tepat dlakukan untuk pembahasan dan penyusunan Peraturan Perundang-undangan tertentu, yang cakupan pengaturan dan jangkauan pengaturannya relatif tidak mempengaruhi langsung masyarakat luas. Artinya sasaran utama penjaringan aspiraasi adalah stakeholder tertentu, baik yang terorganisir atau tidak terorganisir yang dianggap langsung memiliki kepentingan atas materi muatan dan arah pengaturan Rancangan Undang-undang.

Di sisi lain, pendekatan langsung melalui dialog atau hearing hakekatnya bersifat elitis, karena sasaran sebenarnya adalah kelompok masyarakat atau pemangku kepentingan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat banyak, seperti NGO, pakar, akademisi, tokoh masyarakat, asosiasi, organisasi profesional dan fungsional serta organisasi kemasyarakatan lainnya. Namun dengan mempertimbangkan tingkat kesulitan yang dihadapi, apabila harus dialog dan konsultasi publik dengan seluruh masyarakat, meskipun elitis, pendekatan dialog atau dengar pendapat dengan pemangku kepentingan merupakan langkah kegiatan yang dianggap paling memungkinkan untuk melakukan penjaringan aspirasi masyarakat.

Partisipasi masyarakat dalam konteks penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sebenarnya adalah untuk memberdayakan masyarakat, yaitu: pertama; masyarakat mendapat kesempatan luas dan akses untuk menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi yang menjadi haknya, dan mengetahui dan memahami kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai warga negara/warga masyarakat. Kedua; selaku pemangku kepentingan memdapat kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya di dalam melakukan fungsi pengawasan publik. Fungsi pengawasan publik dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan, satu diantaranya adalah, kegiatan advokasi terhadap kebijakan publik. Advokasi dilakukan agar lembaga/pejabat pengambil kebijakan tidak bertindak sewenang-wenang dalam mengunakan kekuasaan dan kewenangannya, terutama yang berkaitan dengan kepentingan kepastian dan perlindungan hukum, serta kesejahteraan masyarakat.

Dalam hubungan dengan advokasi ini, selain melakukan pengawasan dan memberikan kritik, juga memberikan masukan-masukan kepada lembaga/pejabat yang berwenang mengenai apa yang dibutuhkan masyarakat untuk diatur. Apa yang menjadi kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan wakil rakyat didalam memberikan pelayanan dan pengayoman terhadap masyarakat, dan apa yang harus dilakukan oleh masyarakat untuk memenuhi kewajiban dan tanggungjawabnya. Dalam hal ini, menjadi keharusan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah, utamanya aparat birokrasi memberikan ruang yang cukup bagi pemberdayaan masyarakat guna mengembangkan dan meningkatkan peran aktifnya di dalam mendukung pesiapan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan penyusunan dan pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan untuk keberhasilan dilaksanakannya suatu Peraturan Perundang-undangan. 

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang subyek dan obyeknya berkait dengan masyarakat, pada dasarnya dapat terjadi karena: Pertama; kebutuhan masyarakat itu sendiri untuk diatur, yaitu berkaitan dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat untuk mengatur norma atau nilai-nilai yang telah ada di masyarakat menjadi norma hukum yang mengikat. Dalam hal ini Pemerintah bertindak sebagai fasilitator, masyarakat diberi kesempatan untuk merumuskan sendiri apa yang dituju, diperlukan dan arah pengaturan, serta muatan materi pengaturannya. Selanjutnya, pemerintah dalam kapasitas sebagai regulator, mengakomodir aspirasi masyarakat dan memadukan dengan kebijakan hukum dan Peraturan Perundang-undangan nasional dan/atau daerah. Kedua; menjabarkan Visi, Misi dan Arah kebijakan hukum untuk tujuan pembaharuan dan tuntutan perubahan kehidupan di masyarakat, dengan mengatur hal-hal baru yang dapat membentuk nilai-nilai baru dalam masyarakat, dan bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah ada di masyarakat yang berdampak pada perubahan nilai-nilai dan norma masyarakat.

Dewasa ini pembentukan Peraturan Perundang-undangan lebih banyak diadakan pada pilihan kedua tersebut diatas, dan karena tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, banyak Peraturan Perundang-undangan yang tidak dapat dilaksanakan atau mendapat reaksi keras dari sebagian masyarakat. Untuk itu, diperlukan pemahaman terhadap keberagaman nilai dan norma yang hidup dan berlaku di masyarakat, dengan memberdayakan masyarakat untuk berperan aktif di dalam proses perancangan, perencanaan, penyusunan, pembahasan suatu rancangan Peraturan Perundang-undangan. Selain dari apa yang sudah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan diatas (bersifat formalitis), partisipasi masyarakat dalam konteks menyerap aspirasi dan masukan dari masyarakat, dapat dilakukan melalui berbagai cara dan kegiatan. Akan lebih tepat dan memadai, apabila pengambil keputusan pembentukan Undang-Undang atau Perda bertindak proaktif dalam melakukan penjaringan asmara atau penyerapan aspirasi masyarakat. Sejak dini atau sejak perancangan dan persiapan rencana penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Raperda, dirancang kegiatan untuk melakukan desiminasi, sosialisasi atau dialog langsung dengan masyarakat, mengenai hal-hal yang direncanakan dan/atau hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Dengan demikian, materi muatan dan konsepsi Rancangan Undang-Undang atau Raperda yang akan disusun seharusnya tidak hanya didasarkan pada hasil: pemikiran, pendapat dan penalaran atas konsep, teori, pengalaman, dan legal formal, serta prinsip pokok benar sendiri dan untuk kepentingan kekuasaan, politik atau kepentingan kelompok tertentu. Inilah sebenarnya, kenapa proses partisipasi masyarakat tidak berjalan sebagaimana diharapkan, dan masyarakat kecewa karena merasa tidak didengar aspirasinya. Kondisi demikian, menjadikan masyarakat bersikap apatis, dan mengaktualisasikan ketidak puasannya dengan penolakan, demonstrasi, bahkan tindakan anarkhis dan melawan hukum. Yang perlu dipahami bersama, bahwa keberadaan suatu Peraturan Perundang-undangan adalah untuk kepentingan bersama, dan harus dirumuskan dan dibuat berdasarkan kesepakatan bersama, melalui proses pemberdayaan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Kawasan Konservasi Hutan Kota Mangrove Kota Balikpapan