KELOLA SUMBERDAYA ALAM DEMI MASA DEPAN ANAK CUCU KITA

Selasa, 22 Februari 2011

Permasalahan Penegakan Hukum Kejahatan Kehutanan Di Kal-Tim

Permasalahan Penegakan Hukum
Kejahatan Kehutanan (Illegal Logging)
di Kalimantan Timur.
(Bagian I. Tulisan ini dibuat secara bersambung)

Oleh:
Fadli. Moh. Noch

A. Latar Belakang
Pada kurun waktu antara 1998-2004, perjalanan pengelolaan hutan mendapat sorotan tajam dari dalam maupun luar negeri. Pada kurun waktu terseebut, telah terjadi ledakan pengrusakan hutan akibat praktik eksploitasi yang tidak terkendali. Hal ini ditandai dengan muncul dan maraknya praktik eksploitasi hutan oleh pelaku-pelaku baru yang tidak memiliki izin atau memanipulasi izin pemanfaatan. 

Memasuki fase 2006-Sampai saat ini, praktik illegal logging memainkan modus baru dengan cara mengurus izin perkebunan kelapa sawit. Modus ini menjadi sorotan utama dan menjadi perbincangan hangat, hal ini tidak lain karena illegal logging telah dipandang sebagai sebuah aktivitas mafia yang seolah tak pernah tersentuh hukum. Kejahatan illegal logging itu sendiri telah berhasil menciptakan suatu karya terbesar dalam kerusakan hutan di Indonesia dengan berbagai modus yang digunakan. Bahkan ada yang beranggapan bahwa kejahatan illegal logging dapat disejajarkan dengan korupsi maupun sekelas terorisme sekalipun.Read More......

Proses hukum terhadap pelaku illegal logging yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sampai saat ini belum maksimal. Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan belum menunjukkan komitmennya dalam memberantas praktik illegal logging di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya putusan bebas bagi terdakwa illegal logging dan putusan yang sangat ringan bagi terdakwa illegal logging di sejumlah daerah di Indonesia. Persoalan ini menimbulkan sinyalemen yang kuat bahwa Aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan tidak serius dalam memproses hukum pelaku illegal logging di Indonesia.

Diluar permasalahan perilaku korup oknum aparat penegak hukum yang menangani perkara, bebasnya para terdakwa atau tidak tersentuhnya pelaku illegal logging kelas kakap juga dipengaruhi lemahnya perundangan. Undang-undang Kehutanan mempunyai banyak permasalahan dan tidak menjangkau. Kejahatan illegal logging makin canggih atau terorganisir dan terkait dengan kejahatan lain seperti pencucian uang dan korupsi. Berdasarkan hal tersebut, proses penegakan hukum dalam penanganan kasus illegal logging perlu diperluas dan diintegrasikan dengan menggunakan aspek lain dalam peraturan perundangan yang ada, yakni UU Lingkunan Hidup, UU Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang.

Untuk mendukung proses penanganan hukum yang terpadu tersebut, maka dilakukan identifikasi ke lembaga penegak hukum, instansi pemerintah yang terkait dengan sektor kehutanan dan lembaga non pemerintah yang konsen terhadap isu penegakan hukum illegal logging, untuk mengetahui apa yang menjadi masalah dan hambatan dalam proses tersebut serta apa yang bisa dilakukan untuk mendukung proses-proses tersebut.

B. Permasalahan Dalam Penegakan Hukum
Dari hasil identifikasi yang dilakukan di Kalimantan Timur yang dilakukan di tiga tempat Balikpapan, Samarinda dan Berau khususnya pada Instansi Kepolisian Daerah Kalimantan Timur (POLDA KALTIM), Kejaksan Tinggi Kalimantan Timur, Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, Polres Berau, Kejaksaan Negeri Berau, Pengadilan Negeri Berau, Dinas Kehutanan Kabupaten Berau dan NGO yang ada di Kalimantan Timur. Dapat dikumpulkan mengenai informasi yang menjadi masalah dalam proses penegakan hukum illegal logging yang sekaligus menjadi hambatan dalam penegakan hukumnya, informasi tersebut diperoleh dari hasil wawancara responden kunci data-data dalam kasus penanganan illegal logging.

1. Masalah secara umum
Secara umum kendala dalam penegakan hukum illegal logging (penebangan dan penyeludupan kayu), adalah banyaknya instansi dalam mata rantai pemberantasan illegal logging yang berjumlah 18 instansi. Selain itu, penegakan hukum masih lemah sehingga mafia kayu beraksi dengan bebas. Bahkan modus penebangan liar dengan oknum aparat menjadi dinamisator dan supervisor tindak pidana kehutanan, di samping juga menjadi backing. Kondisi moral, sosial dan budaya masyarakat, serta aparat cenderung menjadi tidak kondusif terhadap kelestarian hutan dan penegakkan hukum. Ketahanan dan kemandirian masyarakat yang masih rendah dengan pembodohan yang berdalih pemberdayaan masyarakat. Masih terdapat industri pengolahan kayu yang menerima dan mengolah kayu illegal.

Banyaknya masyarakat yang terlibat dalam kasus illegal logging, karena melihat kontribusi sektor kehutanan dan industri turunannya dapat menopang perekonomian menjadi salah satu faktor pendukung maraknya illegal logging yang tentunya hal ini sekaligus menjadi masalah tersendiri dalam hal peneggakan kasus illegal logging. Kontribusi sektor kehutanan ini juga bukan hanya dilihat oleh masyarakat sebagai penopang perekonomian tetapi dilihat juga oleh daerah sebagai potensi penyumbang Pendapatan Asli Daerah melalui perusahaan yang mengantongi Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang pada kenyataannya banyak perusahaan melanggar ijin tersebut.

2. Masalah menurut para pihak
Menurut (Hamongpranoto, Saroso: 2008), Dalam seminar sehari di bidang kehutanan bahwa permasalahan penegakan hukum illegal loging terletak pada tiga aktor yang saling terkait dan merupakan ”Team Work” yang cukup handal dalam praktek Illegal Loging, yaitu Pejabat Pemerintah, Pengusaha dan Masyarakat. Masing-masing dari ketiga ”Oknum” tersebut mempunyai kepentingan yang sama yaitu adanya ”keuntungan” yang dapat memberikan ”kesejahteraan bagi kehidupan pribadi dan keluarganya”. Keterkaitan ketiga “Aktor” tersebut makin terlihat ketika kasus illegal logging makin banyak terungkap, tentunya dengan fungsi dan perannya masing-masing yaitu:
  • Pejabat Pemerintah dan pejabat penegak hukum, memberikan fasilitas sesuai dengan kewenangannya agar perbuatan atau praktek Illegal Loging dapat berjalan lancar.
  • Pengusaha sebagai pelaku utama meminta fasilitas dengan memberikan imbalan uang yang memadai.
  • Masyarakat yang serba kekurangan dan kesadaran hukum yang rendah dimanfaatkan oleh pengusaha untuk ikut serta dalam praktek ini.
Keterkaitan tersebut makin terlihat jelas sebagaimana yang terungakap dari hasil penelitian tim LIPI pada tahun 2005 kerap tejadi usaha pencurian kayu termasuk Illegal Loging oleh Pengusaha di daerah perbatasan, alasannya adalah :
  • Harga bersaing untuk pasar kayu bantalan atau olahan di Tawau sangat tinggi sekitar dua kali lipat dibanding harga lokal di Nunukan dan Tarakan.
  • Pengawasan oleh aparatur pemerintah sangat lemah dan dapat dinegosiasi dengan damai sehingga pengapalan kayu ke Tawau relatif terjamin.
  • Pemerintah Pusat dan Daerah Nunukan tidak memperoleh pendapatan memadai dari adanya aktivitas perdagangan kayu yang sangat potensial ini.
  • Rusaknya ekosistem hutan di kawasan perbatasan karena penjarahan kayu oleh aktor pengusaha kayu Illegal yang menyuruh masyarakat lokal untuk menebang kayu baik di hutan lindung maupun hutan produktif.
  • Para pelaku atau aktor lain banyak yang tidak menerapkan konsep Sustainable Forest Management dalam pengelolaan hutan karena lemahnya penegakan hukum di lapangan.
APHI melihat kesenjangan suplai dan tersedianya bahan baku industri serta lemahnya penegakkan hukum ditambah lagi kepintaran cukong kayu memanfaatkan masyarakat miskin jadi penyebab praktik ini terjadi, sehingga perlu tekad bersama untuk memberantasnya.

3. Masalah dalam konteks perundangan
Selain itu yang menjadi masalah adalah lemahnya penegakan hukum yang dipengaruhi beberapa faktor antara lain Peraturan/Undang-Undang yang lemah atau tidak relevan lagi, kualitas penegak hukum yang tidak mamadai lagi baik secara pengetahuan, keterampilan, maupun mental/moral, sarana/prasarana yang sangat terbatas, budaya yang masih hidup dimasyarakat serta lingkup masyarakat yang kurang responsif.

Dari konteks undang-undang, masalah tersebut dapat dilihat pada Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Sejatinya undang-undang tersebut digunakan sebagai instrument dalam penegakan hukum illegal logging dengan mengacu pada Pasal 78. Penerapan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disisi lain menimbulkan masalah hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 80 ayat (2) menyatakan: 

Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif.

Karena banyak perbuatan yang tidak diatur dalam ketentuan pidana pasal 78, maka para pembalak liar seringkali menggunakan celah ini, atau sengaja melakukan pelanggaran yang termasuk dalam kategori pelanggaran administratif. Misalnya saja, dalam pasal 78, pelaku penebangan hutan tanpa izin dapat dikenai sanksi pidana penjara dan denda. Tapi bagaimana bila pemegang izin melakukan penebangan hutan dengan sengaja diluar RKT, melakukan penebangan tidak dengan sistem tebang pilih atau menebang tapi tidak menanam kembali. Dalam praktek, hal tersebut banyak dilakukan dan menjadi modus pembalakan liar.
Permasalahan lain terlihat juga pada Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, permasalahan vertikal mengenai kewenangan antara pemerintah daerah dan pusat menjadi masalah tersendiri. Selain itu pertentangan yang terjadi antara Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan, juga menjadi masalah yaitu menyangkut pemberian izin oleh kepala daerah pada sektor kehutanan sementara di satu sisi menurut Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa proses pemberian izin yang dilakukan oleh kepala daerah untuk mengeluarkan kayu-kayu dari hutan bertentangan dengan undang-undang yang telah ada yaitu Undang-undang Nomor 41 tahun1999 tentang Kehutanan, yang selama ini dijadikan landasan dalam proses penegakan hukum di sektor kehutanan.

Disisi penegakan hukum, hingga saat ini selalu terjadi saling lempar kewenangan dalam penanganan illegal logging. Kepolisian dan Kejaksaan yang harusnya menjadi aktor utama penegakan hukum pun telah patah arang, sehingga membutuhkan bantuan dari instansi teknis kehutanan. Sementara instansi teknis kehutanan selalu menyatakan bahwa kewenangan penegakan hukum hanya ada di Kepolisian dan Kejaksaan. Lalu siapa yang sebenarnya berhak untuk melakukan penegakan hukum? Haruskah hukum rimba yang berlaku? (Fadli, Ade: 2004).

4. Masalah korupsi yang mengakar.
Korupsi merupakan sebuah akar dari keseluruhan permasalahan negeri. Korupsi di sektor kehutanan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah dengan tidak melakukan pengawasan terhadap pengelolaan hutan, pemberian ijin yang tidak sesuai dengan kondisi aktual kawasan, kolusi dalam pemberian jatah tebang tahunan, menerima? upeti? dari penebang kayu tak berijin, hingga melakukan pembiaran terhadap pengrusakan hutan.

Korupsi yang telah diterima sebagai sebuah budaya di berbagai tingkat masyarakat akhirnya telah menutup kepentingan kelestarian dan keberlanjutan pengelolaan hutan saat ini. Hal ini juga diperparah dengan tidak terjadinya penegakan hukum di sektor kehutanan yang membuat sebagian besar masyarakat menjadi antipati terhadap sebuah slogan pelestarian hutan. Kayu tak sebesar pil ekstasi, namun penegakan hukum terhadap pelaku pencurian kayu lebih sulit dibandingkan penegakan hukum bagi pelaku narkoba. Demikian pula bila melihat dampak yang terjadi akibat pencurian kayu yang dapat menyebabkan kerugian bagi komunitas masyarakat dalam jumlah besar, dibandingkan dengan pengguna dan pengedar narkoba yang hanya merugikan pihak pengguna dan pengedar saja. Pencuri kayu dapat menghadirkan kerusakan hutan yang berpotensi menjadikan bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. (Fadli, Ade: 2004)

5. Masalah menurut aparat penegak hukum Kaltim
Hasil wawancara dengan responden penegak hukum terungkap bahwa yang menjadi masalah dalam penegakan hukum illegal logging adalah proses penuntutan menyangkut barang bukti, selama ini barang bukti yang digunakan untuk kejahatan kehutanan seperti truk bukan milik pelaku atau terdakawa dalam kasus illegal logging sehingga barang bukti tersebut sulit dirampas untuk negara sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. Berbeda halnya dengan barang bukti berupa kayu hasil curian, hasil kejahatan ini bisa saja langsung dirampas untuk negara. (Sumber: Tengku Othmansyah. Bagian pidum Kejati Kal-Tim).

Keterangan yang diambil dari (Farid) Polres Berau, mengungkapkan bahwa yang menjadi masalah dalam penegakan hukum illegal logging di Berau karena keterbatasan sarana dan prasarana. Polres Berau dalam penanganan kasus illegal logging wilayah cakupannya sangat luas khususnya mengawasi penyeludupan yang menempuh jalur laut, sementara Polres Berau dalam proses pengawasan wilayah Berau hanya dibekali 3 (tiga) buah speedboat. 

Selain hal tersebut di atas persoalan mendasar yang menjadi masalah bagi Polres Berau dalam hal melakukan penyelidikan dan penyidikan apabila ada perusahaan yang terindikasi melakukan penebangan di luar areal izin yang telah dimilikinya, karena ketiadaan peta kawasan perusahaan tersebut, perusahaan tidak pernah memberikan peta kawasan tersebut pada pihak Polres Berau. Hal ini menyebabkan proseses penyelidikan dan penyidikan terhadap perusahaan menjadi terkendala. Minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan khususnya menyangkut perusahaan dan areal tebang, menjadi persoalan tersendiri bagi Polres Berau. Keterbatasan personil Polres Berau dan juga kemampuan membaca peta sehingga monitoring terhadap pelaksanaan kegiatan perusahaan tidak diketahui menjadi penghambat dalam pemberantasan illegal logging. Penangkapan yang dilakukan oleh polres berau dalam operasi illegal logging didiominasi masyarakat hal ini disebabkan keterbatasan sumber daya dalam melakukan penyidikan terhadap pelanggaran kehutanan oleh perusahaan.

Menurut kejaksaan Negeri berau (Widji Susilo, Kepala Seksi Tindak Pidana Umum). Pemberantasan Illeggal Logging terbentur pada persoalan lapangan dan tehnis, kurangnya sarana dan prasarana menjadi persoalan tersendiri bagi Kejaksaan Negeri Berau, di beberapa kasus yang ditangani pihak Kejaksaan Negeri Berau masalah tersebut datang dari anggaran, biaya untuk melakukan eksekusi lapangan lebih besar dibandinggkan dengan putusan pengadilan, banyak kayu illegal loging yang tidak terlelang karena jarak yang tidak terjangkau dan minimnya dukungan sarana dan prasarana serta biaya yang tinggi untuk menjangkau lokasi ekseskusi, akibatnya negara dirugikan dan tidak terpenuhinya kehendak dalam upaya pemberantasan kejahatan Illegal Logging. Sedangkan Pengadilan Negeri Tarakan (Andre Purwanto / Humas pengadilan Negri Berau) mengatakan yang menjadi masalah dalam penegakan hukum Illegal Logging adalah putusan bebas terhadap perusahaan yang melakukan kegiatan Illegal Logging, putusan bebas tersebut karena didasari pengadilan tidak dapat membuktikan bahwa perusahaan tersebut telah melakukan tindak pidana kejahatan kehutanan, yang terbukti bahwa perusahaan tersebut hanya melakukan pelanggaran administrasi. 

Bersambung............

Tidak ada komentar:

Kawasan Konservasi Hutan Kota Mangrove Kota Balikpapan