KELOLA SUMBERDAYA ALAM DEMI MASA DEPAN ANAK CUCU KITA

Sabtu, 28 Agustus 2010

PERLUKAH REGULASI CSR DI DAERAH

Perlukah Regulasi
Corporate Social Responsibility (CSR)
Di Tingkat Daeah?
(Wacana Pembuatan Perda CSR Di Kaltim
 Khususnya Kota Balikpapan)

Oleh:
Fadli. Moh. Noch

A.     Pendahuluan
Wacana pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR) tidak hanya hangat dibicarakat di tingkat Internasional maupun nasional. Wacana tersebut juga kini sedang melanda daerah-daerah yang memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) seperti Kalimantan Timur tanpa terkecuali Kota Balikpapan.
Jika dicermati adanya wacana pengaturan CSR ditingkat daerah bukan tanpa alasan. Hal ini didasari oleh pesatnya perkembangan perusahaan di daerah yang kemudian menimbulkan ketimpangan antara kesejahteraan pimpinan dan pekerja suatu perusahaan dengan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Kondisi tersebut dapat menimbulkan ketidak-nyamanan, ketidak-amanan, konflik dan gangguan proses produksi, dan kesenjangan kualitas manusia. Perusahaan mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk meraup keuntungan maksimal tetapi mengabaikan etika bisnis, mengabaikan kepedulian dan penghargaan pada masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Hadirnya suatu perusahaan, terutama yang berskala besar, di suatu kawasan atau masyarakat biasanya disertai dengan pengenalan nilai dan teknologi yang dapat mempengaruhi lingkungan dan sistem sosial budaya yang ada. Nilai dan teknologi ini dapat berpengaruh positif dan dapat pula berpengaruh negatif. Bila pengaruh negatif ini tidak diantisipasi dan tidak dikelola dan diminimalkan dengan baik akan menimbulkan konflik antara perusahaan dan masyarakat.
Dampak negatif dari berdirinya sebuah perusahaan dirasakan saat perusahaan bukan hanya semakin kaya, tetapi juga semakin berkuasa, sementara jumlah penduduk miskin dan lemah serta rentan secara sosial, ekonomi, politik, kesehatan dan lingkungan semakin banyak. Dalam hal ini, kemajuan perusahaan ternyata menyumbangkan ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi tidak selalu sejalan dengan pemerataan atau distribusi kesejahteraan.

Kondisi tersebut sebagaiman diungkapkan oleh Anggota Komisi III DPRD Kaltim Sudarno, dalam rapat dengar pendapat Komisi III dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Kaltim. Menurutnya bahwa program CSR di tiap perusahaan di Kaltim harus dievaluasi mengingat program ini dinilainya tidak banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Arti CSR saat ini sudah tidak lagi memiliki makna yang khusus bagi masyarakat yang bermukim disekitar lokasi perusahaan karena pada pelaksanaan dilapangan banyak program yang dijalankan namun tidak bersumber dari kebutuhan masyarakat daerah sehingga manfaatnya tidak bisa maksimal.
Dari segi angka pendapatan yang dihasilkan sumber daya alam (SDA) Kaltim bagi perusahaan bukan angka yang sedikit, namun pada kenyataannya CSR yang diberikan kepada masyarakat masih dalam angka yang relatif kecil. Kondisi ini berbanding terbalik dengan pengeksploitasian secara besar-besaran terhadap kekayaan alam Kaltim, sementara CSR yang digulirkan pada masyarakat jauh dari harapan. Hal ini terjadi karena memang niatan dari pihak perusahaan hanya setengah hati atau perusahaan melakukan CSR tidak didasari oleh komitmen, melainkan hanya sekedar menutupi praktik bisnis saja. Lebih lanjut dipaparkan, kebijakan dan program CSR dalam banyak kasus dirumuskan secara top down dan hanya berdasarkan misi dan kepentingan perusahaan semata, serta sering kali program CSR tidak partisipatif sesuai prinsip komitmen sosial masyarakat yang benar.
Sekedar untuk dipahami pembangunan suatu Negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, tetapi setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Untu itu peran serta dunia usaha sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dan mempertimbangkan pula faktor lingkungan, minimal bagi masyarakat disekitarnya. Pentingnya CSR perlu dilandasi oleh kesadaran perusahaan terhadap fakta tentang adanya jurang yang semakin menganga antara kemakmuran dan kemiskinan. Oleh karena itu, diwajibkan atau tidak CSR harus merupakan komitmen dan kepedulian dari para pelaku bisnis untuk ambil bagian dalam upaya meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat sekitar tempat kerja mereka.
Program CSR jika dimaksimalkan maka sangat potensi untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, sebab dana CSR dari perusahaan, baik swata maupun BUMD cukuplah besar. Sehingga jika dana tersebut dikelolah dengan baik, akan sangat efektif untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran di Kaltim. Untuk itu masih menurut Sudarno kedepan pemerintah akan terus berupaya menurunkan angka kemiskinan dan pengurangan melalui perbaikan kondisi sosial, ekonomi dan budaya serta peningkatan kesejahteraan miskin dengan melibatkan dunia usaha melalui program CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan. Tentunya hal ini akan melalui mekanisme pengawasan yang semakin ketat agar dalam pelaksanaannya mampu menyentuh kebutuhan masyarakat lokal dan tidak semata-mata menguntungkan perusahaan saja.
Berdasrkan hal tersebut maka Pemerintah Daerah melihat hal ini sebagai indikasi yang tidak baik dalam perekonomian bangsa, sehingga untuk mengatur keberadaan dan pedoman suatu perusahaan dalam menjalankan roda perusahaannya serta mencegah terjadinya pertumbuhan ekonomi yang menyimpang, maka perlu regulasi yang jelas yang dapat menjamin suatu kepastian hukum khususnya mempertegas tentang kewajiban CSR oleh perusahaan. Pemerintah Daerah menganggap bahwa hal-hal tersebut perlu diatur atau dituangkan kedalam Peraturan Daerah tentang CSR.
Namun demikian sama halnya dengan wacana perlunya regulasi ditingkat nasional yang mendapat penentangan dari dunia usaha atau komunitas yang kontra. Wacana regulasi CSR ditingkat daerah juga menuai polemik pro dan kontra. Maka, berdasarkan hal tersebut tulisan ini dibuat untuk memetahkan apa-apa saja unsur pendukung sehingga perlu dibuat suatu regulasi CSR ditingkat daerah (golongan yang Pro CSR) dan apa-apa saja alasan sehingga CSR tidak perlu diatur ditingkat daerah (Golongan yang Kontra CSR).  
B.      Golongan Pro Regulasi CSR Di Tingkat Daerah.
Secara singkat kenapa CSR perlu diatur dalam sebuah regulasi daerah telah disampaikan di atas, namun demikian secara faktual kebutuhan untuk mengatur CSR ditingkat daerah tidak terlepas dengan kondisi yang terjadi di daerah tersebut misalkan saja di Kota Balikpapan. Berdasarkan data yang ada, jumlah perusahaan di Kota Balikpapan mencapai 1.350 perusahaan dan 200 diantaranya masuk dalam kategori perusahaan besar. Dari jumlah perusahaan tersebut yang melaksanakan program CSR pada periode 2008-2009 masih terbilang kecil hanya 20 perusahaan atau 10 persen diantaranya yang koperatif melaporkan kewajiban program CSR pada masyarakat Balikpapan. Dari 20 perusahaan tersebut terkumpul dana CSR sebesar Rp 7,2 miliar. Dana tersebut diberikan dengan tujuan untuk program pengembangan sumber daya manusia masyarakat Balikpapan.
Untuk periode 2010, hingga bulan April dana yang direalisasikan untuk program CSR sebesar Rp 4 miliar yang digunakan untuk program pengembangan SDM masyarakat Balikpapan. Sehubungan kecilnya dana CSR Balikpapan yang terealisasi menurut sumber yang ada, dikarenakan hanya sebagian perusahaan yang mengetahui ketentuan sosial masyarakat ini. Berdasarkan kondisi tersebut maka wacana pembuatan Perda CSR digulirkan, hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Suryanto kepala Bappeda Kota Balikpapan yang juga ketua tim kordinasi CSR Kota Balikpapan.
Perlunya regulasi CSR di daerah juga diungkapkan oleh Anggota Komisi II DPRD Balikpapan Sabaruddin. Menurutnya dana corporate social responsibility (CSR) yang dulunya bernama community development (comdev) disebut sebagai kewajiban perusahaan. Gara-gara kewajiban tersebut tidak ditunaikan atau ditunaikan tapi tidak sesuai kepatutan, tak jarang konflik sosial masyarakat versus pengusaha terjadi. Setidaknya ada beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan untuk pembuatan regulasi di tingkat daerah, namun yang lebih mendasar adalah UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas khususnya Pasal 74.
Selain itu beberapa hal yang bisa dijadikan dasar rujukan untuk pembuatan regulasi di daerah adalah Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi atau Earth Summit di Rio De Jenerio di Brazil pada 1992, dibahas mengenai konsep sustainable development. Itu bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga korporasi. Pada 2002, kurang lebih 100 kepala negara bertemu di World Summit Sustainable Development di Johannesburg Afrika Selatan dan memunculkan kesepakatan CSR serta memberlakukan ISO 26000 sebagai standar petunjuk CSR. September 2004, International for Standarization Organization (ISO) mengeluarkan ISO 26000. ISO berisi konsistensi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kepentingan stakeholder, penerapan hukum, dan norma-norma internasional.
Perlunya regulasi CSR di daerah sebelumnya telah dimandatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan secara eksplisit empat tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu untuk melindungi segenap warga negara, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Upaya mewujudkan tujuan tersebut dilakukan melalui pembangunan, yang salah satunya adalah melalui pengelolaan sumberdaya alam. Sejak kemerdekaan, telah banyak pembangunan yang dilaksanakan dan berdampak positif. Namun, di samping adanya dampak positif juga terjadi dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan hidup dan kesejahteraan penduduk. Misalnya, kerusakan lingkungan, pencemaran lingkungan, masalah kekeringan dan kebanjiran, keterpencilan, kemiskinan, konflik sosial, ketidakpedulian sosial, dan masalah kesehatan, pendidikan serta masalah kesejahteraan sosial ekonomi. Berbagai permasalahan ini bila dibiarkan akan menjadi ancaman terhadap kualitas hidup manusia dan menjadi beban pembangunan.
Salah satu ruang yang dianggap dapat membantu mengatasi persoalan tersebut adalah dengan digulirkannya program CSR oleh perusahaan. Disamping itu konsep CSR, semakin mendapat perhatian dan pengakuan secara nasional dan global sebagaimana yang dirumuskan dalam UN Global Compact. CSR menjadi suatu kebutuhan bersama di kalangan dunia usaha, masyarakat dan pemerintah. Bagi perusahaan, CSR bermanfaat untuk memperoleh citra yang baik, kepercayaan, keamanan sosial, penguatan investasi dan keberlanjutan perusahaan. Bagi masyarakat, CSR bermanfaat untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat, menciptakan kenyamanan lingkungan hidup, dan mengurangi kesenjangan dan keterpencilan. Sedangkan bagi pemerintah bermanfaat untuk meringankan beban pembiayaan pembangunan, dan mempercepat pencapaian kesejahteraan rakyat.
Seiring dengan pesatnya pembangunan di daerah maka tantangan dan perubahan lingkungan menciptakan peluang baru dan memaksa bagi setiap perusahaan untuk melaksanakan apa yang disebut dengan tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility). Nampaknya perusahaan tidak bisa lagi hanya menerapkan prinsip “the business of bussines is bussines” tetapi, perusahaan hendaknya bertanggungjawab terhadap masalah-masalah sosial disekitarnya termasuk soal pengangguran, kemiskinan, perempuan termarginalkan, gelandangan, pengemis, anak jalanan, gizi buruk, kelaparan, pendidikan untuk semua, kerusakan lingkungan, bencana alam dll. Maka untuk menunjang tanggungjawab dari setiap perusahaan yang akan melaksanakan program CSR di tingkat daerah, diperlukan regulasi yang dapat memperjelas bagaimana mekanisme penyaluran program CSR tersebut serta hal-hal lain yang perlu diatur guna kejelasan program CSR itu sendiri.
Alasan lain kenapa perlu regulasi di daerah tidak terlepas dengan kondisi faktual di lapangan bahwa adanya berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh korporasi. Tidak jarang malapetaka sosial dan lingkungan yang terjadi selama ini akibat dari aktivitas korporasi yang menyimpang dan tak terkontrol dengan baik, seperti kasus lumpur Lapindo. Di mana-mana kita dapat menemukan tingginya tingkat polusi; udara, suara, air sungai dan laut yang sedemikian parah. Hutan semakin menyusut, banjir dan kekeringan melanda setiap tahunnya.
Di samping itu, kerakusan korporasi juga berdampak terhadap tingginya tingkat kemiskinan dan kejahatan. Nilai-nilai budaya lama tergantikan oleh nilai-nilai baru yang belum tentu cocok dengan masyarakat kita. Struktur sosial mengalami kerapuhan. Konsumerisme berlebihan dan fatalisme sosial menjadi biasa. Pola dan gaya hidup masyarakat telah didikte dan didesain oleh korporasi terutama dalam era globalisasi yang tak terelakkan ini.
Selain pengaruh negatif tersebut, pihak pro-CSR mengharapkan korporasi untuk dapat ikut serta dalam proses pembangunan berkelanjutan. Korporasi bukanlah entitas terpisah dari sebuah masyarakat dan lingkungan di mana dia berada, tetapi korporasi merupakan bagian integral yang hanya dapat eksis jika memiliki legitimasi sosial yang kuat. Untuk memiliki legitimasi yang kuat, sebuah korporasi mesti memiliki banyak manfaat dan peduli terhadap lingkungan sosialnya atau menjadi good corporate citizenship[5].
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, peregulasian CSR bukan tanpa alasan. Posisi CSR mesti segera dipertegas karena sudah sekian lama CSR bertumpu di atas landasan yang rapuh. Sementara dampak buruk dari aktivitas korporasi terus berlangsung. Komitmen dan janji-janji moral korporasi yang ditunggu-tunggu untuk menerapkan prinsip-prinsip CSR secara bersungguh-sungguh tidak dapat dipegang sepenuhnya. Karena itu, pihak pro-CSR beranggapan bahwa sudah cukup alasan untuk meregulasikan CSR secara permanen.
CSR harusnya bisa ikut serta dalam memperbaiki perekonomian bangsa. Jika selama ini pemerintah tidak bisa membangun bangsa karena alasan kurangnya anggaran dan sumberdaya, dengan adanya CSR sebenarnya perusahaan bisa membantu. Sepatutnya CSR ditetapkan dalam aturan yang lebih jelas agar pelaksanaannya benar-benar terkoordinasi sehingga peluang terjadinya penyimpangan bisa diminimalisir. Perlu dicatat para pelaku bisnis, bahwa CSR di Indonesia juga akan makin berperan, dan berbisnis dengan melakukan CSR akan menjadi suatu investasi bagi masa depan perusahaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kewajiban CSR ditingkat daerah akan menjadi beban baru bagi korporasi, tetapi membiarkan CSR terombang-ambing di antara politik ekonomi dan klaim moralitas korporasi seperti selama ini, cukup membingungkan. Di samping itu, menunggu keikhlasan dan niat baik dari korporasi untuk melaksanakan CSR secara suka rela tanpa motif politik ekonomi, terasa sulit untuk dibayangkan. Korporasi mesti lebih ditekan dan diikat untuk melaksanakan CSR, demikian para penganut pro-CSR berargumen. Dan salah satu langkah dan pilihan paling rasional bagi mereka adalah meregulasikan CSR meskipun reaksi kalangan kontra terus menyertai, tetapi setidaknya keputusan telah diambil.
Dengan demikian suka atau tidak suka, regulasi CSR telah permanen. Pro-kontra pun biarlah tetap berlangsung untuk memperkaya wacana, tetapi tidak perlu destruktif atau set-back. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana menafsirkan dan mengempirikkan kewajiban CSR tersebut dalam formulasi program secara tepat dan bijaksana. Bukti dan implementasi program akan terasa jauh lebih bermanfaat, ketimbang janji dan klaim moralitas belaka.
Kondisi-kondisi tersebutlah yang kemudian mendorong pemerintah daerah perlu menyusun perangkat peraturan daerah, hal tersebut tentunya untuk memperjelas pengaturan mengenai CSR di daerah.
C.    Golongan Kontra Regulasi CSR Di Tingkat Daerah.
Tidak bisa dipungkiri, meskipun telah banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur secara langsung maupun tidak langsung mengenai CSR itu sendiri, namun yang menjadi fenomenal saat ini adalah adanya UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Khususnya Pasal 74 yang berisikan pewajiban tanggungjawab sosial dan lingkungan. Pasal ini kemudian memicu pemerintah daerah merasa perlu membuat atau mengeluarkan suatu regulasi berupa Perda CSR di masing-masing daerah tanpa terkecuali Balikpapan. Padahal kita ketahui bersama PP yang memperjelas maksud dari Pasal 74 tersebut sampai saat ini belum diterbitkan, sehingga hal tersebut nantinya akan mengaburkan esensi perda yang akan dibuat di masing-masing daerah.
Sejatinya regulasi adalah sebuah aturan yang dibuat untuk menciptakan keteraturan, keseimbangan, berkeadilan dan kesejahteraan. Namun di Indonesia, khususnya di daerah-daerah penghasil SDA kehadiran regulasi tidak semuanya berujung pada tujuan di atas. Banyak regulasi yang lahir dari ‘pemaksaan’ akan kebutuhan untuk memenuhi pendapatan negara atau daerah. Regulasi di Indonesia, tidak semua dilahirkan karena kebutuhan akan keteraturan terhadap sebuah masalah yang berkembang di wilayah. Masalah regulasi tersebut, biasanya terjadi di sektor-sektor yang berhubungan antara dunia usaha, publik dengan pemerintah. Namun kini, regulasi muncul memasuki ranah kebijakan perusahaan terkait dengan stakeholder, Yaitu akan munculnya rancangan Peraturan Daerah di masing-masing daerah penghasil SDA dan munculnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) tentang Pedoman Dukungan Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan Masyarakat (Fokedum).
Ikhtisar rancangan Raperda dan Permendagri tersebut adalah, sebuah kewajiban yang dilakukan oleh perusahaan dengan kegiatan yang diatur dan diawasi oleh pemerintah. Selain itu, dana inisiatif CSR ‘harus’ dikeluarkan dari keuntungan yang dikelola oleh sebuah forum.  Bila ditelisik lebih jauh, ternyata ada regulasi di wilayah Kalimantan Timur, yang juga mengatur soal inisiatif CSR. Apa yang dimaksud dalam rencana tersebut, bertolak belakang dengan konsep inisiatif CSR yang berlaku saat ini, dengan menjadikan sebagai strategi bisnis perusahaan. Inisiatif CSR punya nilai-nilai dan strategi yang sinergi dengan kebijakan dan strategi perusahaan, dan berujung pada meningkatnya produkti­tas perusahaan.
Jika pemerintah daerah ingin melakukan regulasi CSR di tingkat daerah maka salah satu yang harus di ingat adalah bahwa CSR berakar dari etika bisnis dan lingkugan (beyond legal aspects), maka idealnya tidak perlu ada kebijakan atau regulasi pemerintah tentang CSR.  Yang diperlukan perusahaan dari pemerintah adalah pedoman, dukungan dan fasilitasi untuk mengoptimalkan implementasi CSR bagi perbaikan kesejahteraan, terutama masrakat terkait. Seharusnya peran pemerintah dalam CSR adalah:
1.      Menyediakan pedoman implementasi, penilain dan pelaporan  CSR (minimum standar) ;
2.      Memberikan data/informasi tentang target sasaran yang relevan;
3.      Memberikan keteladanan perencanaan dan implementasi CSR dari perusahaan pemerintah (BUMN dan BUMD);
4.      Memberikan insentif dan penghargaan bagi perusahaan yang melaksnakan CSR dengan baik;
5.      Mempromosikan atau mensosialisasikna praktek-praktek CSR yang baik (best practices); dan
6.      Membuat atau mengembangkan kebijakan yang kondusif bagi implementasi CSR.
Ada pandangan yang mengatakan bahwa apabila CSR diatur sebagai kewajiban hukum maka hal tersebut tidak sesuai dengan semangat CSR itu sendiri yang sebenarnya merupakan aktifitas sukarela dari perusahaan untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat. Menurut Andi Syafrani, regulasi CSR dalam ‘hard law’ (yaitu dalam UU PT No. 40 tahun 2007 dalam hukum Indonesia) dapat dikatakan sebagai suatu langkah kemunduran di tengah tren hukum bisnis global yang menuju pada  arah  deregulasi  dan  lebih  memberikan  ruang  pada  upaya ‘self regulation‘ melalui perangkat ‘soft  law ’Andi Syafrani juga menyatakan bahwa tidak ditemukan adanya preseden regulasi CSR di Negara manapun di dunia.
Jadi seharusnya  yang  diatur  bukanlah  kewajiban  untuk  melakukan  CSR  secara  langsung, melainkan kewajiban membuat laporan mengenai kegiatan-kegiatan perusahaan. Dengan perkataan lain, yang diatur adalah laporan atas apa yang telah dilakukan oleh perusahaan dan bukannya mengatur apa yang harus dilakukan oleh perusahaan. Hal ini bisa jadi karena tingkat komitmen dan kesadaran perusahaan dalam melakukan CSR sudah tinggi. Kesadaran masyarakat akan hak-hak  dan  partisipasinya  pun  juga  sudah  lebih  baik  dari yang kita kira. Meski tidak disebutkan secara eksplisit mengenai kewajiban melakukan CSR, namun ada pengaturan mengenai kewajiban-kewajiban perusahaan untuk bertanggung jawab dalam bidang-bidang lain di luar tanggung jawab terhadap para pemiliknya. Ini pun bukan termasuk perangkat hukum, melainkan pedoman saja yang keberlakuannya bergantung pada komitmen masing-masing institusi.
Disamping itu, pandangan lain menyebutkan bahwa pemberlakuan kewajiban CSR yang dituangkan dalam peraturan daerah khususnya terkait dengan perusahan yang bergerak di bidang SDA akan sangat merugikan perusahaan itu sendiri. Sebab, disatu sisi perusahaan telah dipungut pajak yang cukup besar dan disisi lain ada suatu keharusan mengalokasikan dana untuk program CSR, kewajiban perusahaan mengalokasikan sejumlah dana untuk program CSR ini tentunya akan sangat membebankan perusahaan. Kewajiban CSR akan mempengaruhi investasi asing karena mereka harus menganggarkan dana CSR. Adanya suatu regulasi CSR di tingkat daerah secara otomatis mewajibkan pihak perusahaan mengalokasikan dana untuk program tersebut yang tentunya ini merupakan sesuatu diluar kewajaran. Harapan dari pihak yang kontra bahwa CSR bukanlah sesuatu yang bersifat mandatori atau kewajiban. Sebab mustahil rasanya apabila perusahaan tersebut hanya memiliki kantor kecil dan pegawainya sedikit terus dipaksa untuk melakukan program CSR.
Pada kesempatan ini kalangan yang kontra terhadap regulasi CSR berpendapat dengan diaturnya CSR dalam UU PT sudah merupakan bentuk pengeliruan konsep CSR yang sesungguhnya sebab telah merubah suatu tatanan konsep dari yang sifatnya sosial menjadi wajib. Lebih ironis lagi apabila hal tersebut nantinya diatur dalam suatu regulasi daerah, kondisi atau gagasan tersebut dapat dipastikan akan mengalami distorsi serius yang diantaranya:
1.      Sebagai sebuah tanggung jawab sosial, UU PT  dan Perda yang nantinya akan dibuat telah mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR tersebut, yakni sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan bertindak. Mewajibkan CSR, apa pun alasannya, jelas memberangus sekaligus ruang-ruang pilihan yang ada, berikut kesempatan masyarakat mengukur derajat pemaknaannya dalam praktik. Dalam ranah norma kehidupan modern, kita dilingkupi dengan sejumlah norma yakni norma hukum, moral, dan sosial. Tanpa mengabaikan kewajiban dan pertanggungjawaban hukumnya, pada domain lain perusahaan juga terikat pada norma sosial sebagai bagian integral kehidupan masyarakat setempat. Konsep asli CSR sesungguhnya bergerak dalam kerangka ini, di mana perusahaan secara sadar memaknai aneka prasyarat tadi dan masyarakat sekaligus bisa menakar komitmen pelaksanaannya.
2.      Dengan kewajiban itu, konsekuensinya, CSR bermakna parsial sebatas upaya pencegahan dan penanggulangan dampak sosial dan lingkungan dari kehadiran sebuah perusahaan. Dengan demikian, bentuk program CSR hanya terkait langsung dengan core business perusahaan, sebatas jangkauan masyarakat sekitar. Padahal praktik yang berlangsung selama ini, ada atau tidaknya kegiatan terkait dampak sosial dan lingkungan, perusahaan melaksanakan program langsung, seperti lingkungan hidup dan tak langsung (bukan core business) seperti rumah sakit, sekolah, dan beasiswa. Kewajiban tadi berpotensi menghilangkan aneka program tak langsung tersebut.
3.      Tanggung jawab lingkungan sesungguhnya adalah tanggung jawab setiap subyek hukum, termasuk perusahaan. Jika terjadi kerusakan lingkungan akibat aktivitas usahanya, hal itu jelas masuk ke wilayah urusan hukum. Setiap dampak pencemaran dan kehancuran ekologis dikenakan tuntutan hukum, dan setiap perusahaan harus bertanggung jawab. Dengan menempatkan kewajiban proteksi dan rehabilitasi lingkungan dalam domain tanggung jawab sosial, hal ini cenderung mereduksi makna keselamatan lingkungan sebagai kewajiban legal menjadi sekadar pilihan tanggung jawab sosial. Atau bahkan lebih jauh lagi, justru bisa terjadi penggandaan tanggung jawab suatu perusahaan, yakni secara sosial (menurut UU PT) dan secara hukum (UU lingkungan hidup).
4.      Dari sisi keterkaitan peran, kewajiban yang digariskan UU PT menempatkan perusahaan sebagai pelaku dan penangung jawab tunggal program CSR. Di sini masyarakat seakan menjadi obyek semata, sehingga hanya menyisakan budaya ketergantungan selepas program, sementara negara dan juga daerah menjadi mandor pengawas yang siap memberikan sanksi atas pelanggaran yang terjadi.
Sebenarnya pemerintah maupun pemerintah daerah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah daerah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR. Pemerintah daerah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah daerah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah daerah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi satu pihak terhadap yang lain. Peran terakhir ini amat diperlukan, terutama di daerah.

Harus diakui ketika ingin menetapkan regulasi CSR di tingkat daerah ada konsekwensi yang mau tidak mau dipikul oleh pemerintah daerah. Pada satu sisi pemerintah menginginkan perusahaan melaksanakan CSR. Namun pada sisi lain keinginan pemerintah perusahaan melaksanakan CSR itu dengan adanya regulasi. Lantas regulasi itu dikatakan berfungsi untuk mendorong kinerja CSR.
Pada perinsipnya pemerintah daerah dapat mendorong terlaksananya CSR pada perusahaan tanpa harus adanya regulasi. Pemerintah daerah dapat melakukan banyak aktivitas nonregulatori mendorong CSR seperti koordinasi kebijakan mengenai CSR antar dinas, meningkatkan profil CSR, membiayai penelitian-penelitian tentang CSR, memberikan insentif buat perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja CSR. Artinya pemerintah daerah memotivasi perusahaan-perusahaan agar melaksanakan CSR yang nantinya untuk kebaikan dari perusahaan itu sendiri, sesuai dengan prinsip dari CSR untuk meningkatkan citra perusahaan.

Sudah terbukti di negara Eropa pemerintahnya mendorong perusahaan-perusahaan untuk melaksanakan CSR yang tidak dimulai dari regulasi (atau tidak membuat regulasi) atas CSR, tetapi mendorong perusahaan-perusahaan dengan nonregulasi. Hal itu tepat karena regulasi berpotensi untuk memindahkah apa yang menjadi beban pemerintah kepada perusahaan-perusahaan (swasta). Artinya pemerintah daerah tidak boleh meminta perusahaan menyisihkan dana untuk pendidikan, karena pemerintah mempunyai kewajiban konstitusi untuk menyediakan dana pendidikan dari APBN dan APBD. Dapat dibayangkan bila yang demikian dilakukan maka ketika projek selesai pemerintah (oknum) dapat mengklaim projek itu dibiayai APBD atau APBN. Kondisi ini berpeluang besar untuk korupsi.
Hakekat dari CSR itu menjadi kabur dan hilang karena CSR merupakan bagian dari perusahaan untuk tumbuh, berkembang bersama masyarakat sekitar, pencitraan diri perusahaan dalam aktivitasnya secara total. Citra perusahaan adalah ”pintu gerbang” untuk kesuksesan perusahaan pada semua sektor. CSR meningkatkan citra perusahaan maka peran serta pemerintah harus jelas dan tegas.

D.     Kesimpulan
Pro dan kontra perlunya regukasi di tingkat daerah sebagaimana yang telah diuraikan diatas jika ditelaah lebih dalam akan menuai titik buntuh sebab kedua pandangan tersebut masing-masing mempunyai argumentasi yang mendasar sehingga dengan demikian persoalan tersebut dapat kita maknai sebagai proses demokrasi.
Namun demikian pro-kontra terhadap paradigm peregulasian CSR di daerah jelas merefleksikan adanya kepentingan dan nilai-nilai yang berbeda yang dipegangi oleh pihak-pihak terkait. Dengan mengambil suatu konsekwensi perlu meregulasi CSR di tingkat daerah maka sudah pasti kritik tetap muncul dari kalangan yang kontra CSR dengan argumentasi bahwa CSR adalah konsep dimana perusahaan, sesuai kemampuannya, melakukan kegiatan yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup. Kegiatan-kegiatan itu adalah diluar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam peraturan perundangan formal, seperti ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Mereka berpendapat, jika diatur, selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha.
Perlu disadari juga bahwa CSR adalah konsep yang terus berkembang baik dari sudut pendekatan elemen maupun penerapannya. CSR sebenarnya merupakan proses interaksi sosial antara perusahaan dan masyarakatnya. Perusahaan melakukan CSR bisa karena tuntutan komunitas atau karena pertimbangannya sendiri. Bidangnya pun amat beragam ada pada kondisi yang berbeda-beda.
Proses regulasi yang menyangkut kewajiban CSR perlu memenuhi pembuatan peraturan yang terbuka dan akuntabel. Pertama, harus jelas apa yang diatur. Lalu, harus dipertimbangkan semua kenyataan di lapangan, termasuk orientasi dan kapasitas birokrasi dan aparat penegak hukum serta badan-badan yang melakukan penetapan dan penilaian standar. Yang juga harus diperhitungkan adalah kondisi politik, termasuk kepercayaan pada pemerintah dan perilaku para aktor politik dalam meletakkan masalah kesejahteraan umum. Ini artinya harus melalui dialog bersama para pemangku kepentingan, seperti pelaku usaha, kelompok masyarakat yang akan terkena dampak, dan organisasi pelaksana.
Pada dasarnya kegiatan CSR sangat beragam bergantung pada proses interaksi sosial, bersifat sukarela didasarkan pada dorongan moral dan etika, dan biasanya melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, di dalam praktek, penerapan CSR selalu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing perusahaan dan kebutuhan masyarakat. Idealnya terlebih dahulu dirumuskan bersama antara 3 pilar yakni dunia usaha, pemerintah dan masyarakat setempat dan kemudian dilaksanakan sendiri oleh masing-masing perusahaan. Dengan demikian adalah tidak mungkin untuk mengukur pelaksanaan CSR.
Selain itu, pelaksanaan CSR merupakan bagian dari good corporate governance yang mestinya didorong melalui pendekatan etika maupun pendekatan pasar (insentif). Pendekatan regulasi sebaiknya dilakukan untuk menegakkan prinsip transparansi dan fairness dalam kaitan untuk menyamakan level of playing field pelaku ekonomi. Sebagai contoh, UU dapat mewajibkan semua perseroan untuk melaporkan, bukan hanya aspek keuangan, tetapi yang mencakup kegiatan CSR dan penerapan GCG.

************************* 27-08-2010 ************************








Tidak ada komentar:

Kawasan Konservasi Hutan Kota Mangrove Kota Balikpapan