KELOLA SUMBERDAYA ALAM DEMI MASA DEPAN ANAK CUCU KITA

Senin, 01 Agustus 2011

Wawancara Singkat Perspektif Para Pihak Terhadap TNK..

Wawancara Singkat
Perspektif Para Pihak Terhadap TNK
(Bagian 3)
  
Oleh:
Fadli Moh. Noch
 
C. Pakar dan Akademisi
Salah satu pakar dan sekaligus dosen Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman DR. Candra mengungkapkan, Sebenarnya solusi untuk memecahkan permasalahan TNK sejak dulu telah dilakukan khususnya yang berkaitan dengan penegakan hukumnya, sepengetahuan saya pernah ada satu tim yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan yang dinamakan tim terpadu yaitu gabungan dari tim pusat dan daerah, yang bertugas melihat persoalan yang terjadi di TNK tetapi sampai saat ini apa bentuk rekomendasinya dan apa yang dihasilkan dari tim tersebut tidak jelas. 

Selain hal tersebut jauh sebelum upaya menyuarakan pelestarian TNK telah dilakukan berbagai upaya, bahkan ada beberapa kawan yang cukup vokal untuk menyuarakan penegakan hukum di TNK hampir meninggal karena mengusik apa yang dilakukan olek masyarakat di kawasan TNK, ini menandakan bahwa betapa rumitnya menyelesaikan persoalan di TNK.

Pada kesempatan ini saya juga melihat bahwa Pemerintah Pusat tiadak mau perduli dengan apa yang terjadi di TNK, padahal kita ketahui bersama bahwa kewenangan TNK itu berada di Pusat (Departemen Kehutanan RI), dampak dari ketidak perdulian Pemerintah Pusat tersebut terjadi juga di Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah karena melihat ketidak Perdulian Pemerintah Pusat terhadap TNK maka bersikap acuh tak acuh terhadap persoalan TNK ini karena anggapan bahwa persoalan TNK adalah persoalan Pemerintah Pusat.
Read More........


Untuk itu saya berpendapat dan sekaligus menyarankan bahwa sebaiknya hal yang perlu dilakukan terhadap TNK yaitu mendorong daerah mengambil alih pengelolaan TNK dan semua kewenangan harus berada di daerah, ini tak lain tujuannya agar perhatian terhadap TNK bisa maksimal. Selain itu yang mengetahui persolan TNK adalah daerah, sekaligus untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi dapat dengan mudah. Pemerintah pusat selama ini selalu mengatakan bahwa kewenangan TNK tetap berada di pusat tetapi ketika ada persoalan yang terjadi di TNK tidak mau tau tentang hal tersebut. 

Dalam wawancara tersebut DR. Soeyitno Soedirman menyampaikan pemikiran-pemikirannya diantaranya: Dalam kesempatan ini saya hanya menyampaikan beberapa pemikiran, mudah-mudahan menjadi pertimbangan kita ke depan di dalam menangani hal-hal yang berkaitan dengan keberadaan Taman Nasional Kutai (TNK) sekaligus dengan beberapa pemikiran, usulan program-program yang sekiranya perlu dilakukan yang ada kaitannya dengan kelestarian TNK dan bahkan juga keberlanjutan program bangunan di Kutai Timur. Pemikiran tersebut saya beri judul “Taman Nasional Kutai sebagai Sumber Daya Pembangunan, Peluang dan Tantangannya”. 

Di dalam kaitan dengan peran TNK di dalam pembangunan Kutai Timur ada hal-hal prinsip yang barangkali perlu dipertimbangkan yaitu yang berkaitan dengan perubahan-perubahan paradigma pembangunan baru. Termasuk pembangunan kehutanan pada khususnya. Bahwa didalam pembangunan kehutanan telah berlangsung perubahan paradigma yang mestinya harus menjadi perhatian seluruh stakeholder didalam komponen kehutanan itu sendiri termasuk pembangunan kawasan konservasi. Salah satu perubahan itu adalah bahwa hutan tidak boleh dipandang hanya sebagai penghasil kayu. hutan harus di list (daftar) secara total atau keseluruhan. Apapun hutan itu dan dimanapun berada maka penilaian itu harus secara bulat atau yang dikenal sebagai total economic. Berkaitan dengan total economic, ada empat nilai yang harus menjadi perhatian didalam kaitan masalah hutan termasuk keberadaan TNK itu sendiri.
  • Pertama, adalah nilai langsung, dapat dinikmati dari hutan.
  • Kedua, ada yang namanya nilai pilihan, itu yang barangkali perlu dicermati kedepan, bahwa TNK juga mengandung nilai yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh stakeholder di Kutai Timur. Katakan ada nilai-nilai ekotorism, penelitian, konservasi yang berkaitan dengan global.
  • Ketiga, selanjutnya adalah nilai ketiga adalah nilai tidak langsung, yang sering kita peroleh dari hutan. 
  • Keempat, adalah nilai Keberadaan TNK, sebab tadi dikatakan Taman Nasional Kutai (TNK) itu telah lama dirancang oleh pendahulu kita sejak 1937 bahkan Sultan Kutai pun ikut juga merancang untuk dilestarikan sejumlah 2 juta ha. Itu pertanda bahwa keberadaannya perlu dilestarikan karena punya nilai-nilai khas didalam kaitan-kaitan dengan sumber daya alam di dunia dan Indonesia pada khususnya.
Jadi empat nilai tadi barangkali perlu dipikirkan didalam kaitan-kaitan dengan bagaimana Pembangunan Kutai Timur juga membawa keberadaan Taman Nasional Kutai (TNK) itu sebagai aset pembangunan. Kalau kita bicara masalah potensi di Taman Nasional Kutai (TNK), sudah begitu banyak perubahan yang sangat mendasar tentang land covery sudah cukup banyak perubahan sehingga yang hijau cuma sedikit saja. Saya juga mengusulkan didalam zona pemanfaatan ada juga zona-zona khusus yang dapat memunculkan peran serta masyarakat didalam Pembangunan Taman Nasional Kutai (TNK) dan Kutai Timur pada khususnya. 

Saya pernah melihat TN di Jerman yang luasnya 20 ribu ha juga bekas hutannya rusak tetapi pada waktu dia mendesain itu ternyata banyak yang mendatangkan keuntungan bagi konservasi. Jadi disana ada desain khusus didalam zona pemanfaatan, pertama adalah tempat-tempat yang didesain untuk secara atraktif memberikan peluang masyarakat apakah itu pelajar, mahasiswa ataukah umum untuk berekreasi dengan muatan-muatan konservasi sehingga dengan itu keberadaan Taman Nasional Kutai (TNK) juga akan mendatangkan keuntungan bagi pengelola juga masyarakat karena dengan datangnya pengunjung otomatis juga menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang relevannya akan menambahkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Kemudian di lapis kedua itu ada zonasi yang bersifat Pembelajaran Konservasi jadi orang-orang yang tidak ingin atau yang tidak hanya ingin berekreasi di zonasi pertama maka dia juga akan dapat meneruskan menikmati TNK itu didalam fase-fase lebih lanjut yaitu masalah Pembelajaran Konservasi inipun juga merupakan peluang yang barangkali perlu dituangkan dalam desai ulang Taman Nasional Kutai (TNK) itu untuk kemudian menjadi pada masalah-masalah total. Lapis ketiga juga ada lapis yang lebih mendalam pada masalah kajian-kajian. Orang akan datang meneliti secara cermat kondisi yang ada di Kutai itu, yang banyak mempunyai kelebihan-kelebihan dari flora fauna yang di negara lain tidak ada dan bahkan di Indonesia tidak banyak, itupun juga menjadi peluang – peluang ekonomi yang dapat dikembangkan didalam Pembagunan Taman Nasional Kutai (TNK) itu dan bahkan juga sebagai bagian Pembangunan Kutai Timur.

Lalu barangkali siapa yang dapat berperan di dalam kaita-kaitan itu, di Kutai Timur banyak investor asing yang telah menanam modal yang cukup besar disini ada Pupuk Kaltim ada LNG Bontang dan bahkan juga KPC. Sehingga itu juga merupakan suatu resource (sumberdaya) yang harus berperan didalam Pembangunan Taman Nasional Kutai (TNK) sendiri bahkan juga menjadi bagian Pembangunan Kutai Timur pada umumnya.
Berikutnya adalah masalah bagaimana masyarakat harus terlibat didalam Pembangunan Konservasi Alam, saya kira Dirjen PKA juga ada program Community Management atau Community Conservation Management.. Taman Nasional Kutai (TNK) harus merancang bagaiman pola-pola yang harus dikembangkan TNK supaya nanti berperan dalam Pembangunan Ekonomi masyarakat disekitar hutan.

Taman Nasional Kutai (TNK) keberadaannya seolah-olah tidak menguntungkan masyarakat disekitar hutan. Sementara TNK punya potensi yang cukup besar didalam kaitan-kaitan itu sehingga masyarakat juga harus merupakan bagian daripada Pembangunan Taman Nasional Kutai (TNK) dan bahkan juga sebagai bagian dari Pembangunan Kutai Timur secara keseluruhan.

Sehingga hal-hal yang perlu dilakukan kedepan ada beberapa yang saya usulkan dalam kaitan-kaitan itu.
  • Pertama, adalah yang berkaitan dengan didesain tadi, maka program pokok yang segera harus dilakukan TNK Kutai dan bahkan Pak Tonny juga punya kemampuan untuk itu adalah bagaimana mengkaji ulang keberadaan zonasi yang ada dengan dasar informasi terkini dari Taman Nasional Kutai (TNK) yang sekarang dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Sehingga Penataan ulang kembali dan resonasi kembali dari TNK itu merupakan hal yang barangkali perlu dipertimbangkan didalam kaitan-kaitan dengan pemberdayaan masyarakat disekitar TNK itu sendiri.
  • Kedua, Pengkajian secara komperensif faktor-faktor pembangunan konservasi yang bermuara pada Community Conservation yaitu yang secara komprensif harus dilaksanakan secara berkelanjutan.
  • Ketiga, penyusunan perencanaan atau master plan pengelolaan TNK yang tadi dikatakan telah berbasis kepada di-desain yang baru dan bahkan juga melalui pendekatan-pendekatan spesifik lokal yang ada di Kutai Timur, bahkan tadi juga tertarik pada tawaran Tonny untuk mengembangkan desa-desa wisata disekitar hutan Kutai Timur. 
  • Kemudian yang berikutnya adalah Pembangunan Konservasi TNK berdasarkan prinsip-prinsip eco-efisien dan total economic.
Kesempatan yang sama digunakan oleh Prof. DR. Mustofa Agung Sarjono melihat bagaimana TNK sesungguhnya. Beliau mengungkapkan bahwa bagaimana mengakomodir dua kepentingan dalam upaya melestarikan Taman Nasional Kutai (TNK) dan coba untuk mengakomodir kepentingan atau perkembangan sosial ekonomi untuk masyarakat. Selanjutnya sudah ada persetujuan enclave dari Departemen Pertanian dan Kehutanan kepada pihak Pemda untuk bisa melepaskan, saya tidak tahu berapa luasnya. Tapi yang perlu kita pikirkan adalah apakah enclave ini merupakan solusi akhir dari kemungkinan perkembangan dinamika dimasa depan. Katakanlah misalnya bahwa persetujuan enclave itu 15 ribu yang diajukan kemudian disetujui semua apakah dari pihak Pemda sendiri sudah memperkirakan bahwa dengan 15 ribu ini merupakan sudah luasan yang boleh dikatakan optimal untuk pengembangan tapi maksimal untuk perluasan pada tahun-tahun mendatang. Jadi inipun perlu kita perhatikan benar karena kita juga sudah belajar dari wilayah lain contohnya Hutan Lindung Balikpapan. Untuk itu saya mengambil pendekatan yang berbeda yang menyangkut mengenai enclave, itu tidak didasarkan pada enclave dari sudut kepentingan Pemda. Pihak pengelola TNK mencoba kembali sebagaimana saya pernah lihat dalam mendata, daripada potensi apakah keterwakilan ekosistem ataukah keanekaragaman hayati yang masih bisa dipertahankan. Sedangkan pendekatan saya tadi adalah justru pada kepentingan berapa luas bisa dipertahankan dan perlu untuk dipertahankan yang sisanya coba untuk direncanakan bagaimana pengelolaanya. Kalau itu kemudian bisa dilakukan artinya nanti ada kewenangan yang berbeda, kewenangan Departemen pada wilayah yang harus dilindungi, dan itu merupakan kewenangan Pusat menurut aturannya saat ini ada yang diluar sebagai back-up adalah perlu adanya Peraturan Daerah yang bisa dilakukan oleh Pemda sendiri, sehingga disitu Pemda mengatur agar masyarakatnya supaya turut serta membantu melindungi daripada kawasan yang disepakati untuk dilindungi. Pak Yitno memberikan contoh di negara Jerman, 20 ribu itu mencukupi untuk pengolahan yang tidak hanya lestari tapi juga bermanfaat, jadi bukan berarti saya menyarankan dalam kesempatan ini bahwa cukup 20 ribu saja tapi itu memerlukan suatu kajian peta terkini bagaimana seberapa luas sebenarnya harus dipertahankan dan kalau kemudian kesepakatan sudah dicapai oleh seluruh stakeholder, dan stakeholder disini juga harus kita cermat, karena juga ada pihak yang betul terkait tapi juga ada pihak yang ingin dikait-kaitkan jadi inipun harus kita perhatikan.

Maka saya kira law enforcement mau tidak mau harus dijalankan jika tidak ingin masalah muncul dikemudian hari. Untuk dalam hal ini koordinasi lintas sektoral dan berbagai para pihak mungkin diperlukan dan dalam apa yang saya sampaikan perlu ada semacam forum tapi saya dengar katanya sudah ada Karib Kutai, Mitra Kutai dan sebagainya. Saya kira memang penempatan Sangatta sebagai Ibu kota kabupaten Kutai Timur itu merupakan (kalau saya mengatakan) nikmat dan bencana juga karena harus berhadapan dengan dua pilihan, antara pilihan sebagai pusat kendali keseluruhan kegiatan di daerah kabupaten juga bertabrakan dengan kepentingan konservasi. Pada kenyataannya enclave sudah setujui kemudian kita akan sudah siap melaksanakan Tata Batas, maka mungkin akan ada cara-cara yang lebih menjamin mengenai keberlangsungan kesepakatan dimasa depan dan tidak terjadi permasalahan lagi dikemudian hari. 

Prof Arifin Leo, saya ingin coba membuat satu nuansa baru dalam pemikiran mengenai konsep yang berkembang. Terminologi tentang enclave kemudian stakeholder. Dalam terminologi enclave itu adalah “suatu kawasan yang boleh dimukim tetapi tidak boleh dimiliki”. Artinya kita boleh tinggal sampai sekian keturunan tapi tidak boleh memiliki tanah itu. Dari tadi kita bicara stakeholder, sebenarnya siapa stakeholder itu. Dari kajian akademik stakeholder itu ada tiga unsur pokok, yang pertama ialah Birokrat dalam hal ini adalah Pemerintah kemudian Dewan Perwakilan Rakyat, dan yang ketiga adalah masyarakat dengan segala komponenyang ada didalamnya termasuk pemuda kemudian tokoh-tokoh masyarakat, LSM lalu Perguruan Tinggi dan sebagainya., itulah yang disebut stakeholder.

Kemudian dalam konteks yang berkembang saya melihat subtansi persoalannya adalah antara TNK disatu sisi dan empat desa dalam wilayah tersebut. Dalam kaitan dengan diskusi saya mencoba TNK ini seperti pembicaraan tadi, direposisi kembali atau diformula kembali ke dalam 3 zona sesuai dengan realitas yang ada. Pertama apakah zonasi untuk pemukiman ini terkait dengan Pemerintah kemudian Industri karena secara riil kita ada dikawasan Hutan Lindung dimana Pertamina yang memfasilitasi pertemuan ini. Satu lagi adalah zona yang tetap dipertahankan sebagai kawasan Suaka Marga Satwa begitu atau TNK itu sendiri. 

Balai TNK sudah membicarakan bagaimana mengembangkan mendesain TNK ini sebagai daerah tujuan wisata. Kalau tiga zonasi ini bisa disepakati oleh para stakeholder dan di Sangatta, karena Dewannya nanti baru dilantik bulan Nopember, sementara ini satu diskresi yang baik bagi Pemerintah Kabupaten untuk membuat zona-zona itu sebelum nanti Dewan terbentuk untuk di Perda. Soal nanti bertentangan dengan Pusat silahkan saja, karena berkaitan dengan otonomi daerah kita tahu bahwa pusat akan tetap mempertahankan kewenangannya kepada daerah tapi setengah hati, jadi wajar saja kalau kita benturan dengan Pusat dalam konteks ekonomi. 

Karena Tap MPR No.4/ 2000, UU No. 22 dan UU No. 25/1999 itu akan dikaji kembali dan kemudian kebetulan saya dengan Pak Yitno kemarin termasuk dalam Tim Kajian dan Sosialisasi Otonomi di Kaltim, dan saya sekarang masih bertahan di Tim Fasilitasi Pak Yitno sudah keluar karena menjadi Staf Ahli Menteri waktu itu. Ini boleh saja kita bertentangan dengan Perda sejauh ini untuk kepentingan masyarakat.

Perlu disadari bahwa fungsi Pemerintah itu ada 3 pilar yang tidak bisa tidak, ini disemua negara sama. Yang pertama adalah Pilar Pelayanan kepada masyarakat, kedua Pilar untuk Pembangunan, ketiga Pilar Pemberdayaan kepada masyarakat. Khusus ke 4 desa yang ada di lingkungan TNK tadi sudah ada kata sepakat dalam tanda petik kalau itu mau dilepas, lepaslah sepenuh hati artinya dalam jangka waktu tertentu apakah lima tahun atau sepuluh tahun itu dia mempunyai azas legalitas, artinya mereka mempunyai hak untuk mendapatkan legalitas walaupun tadi dikatakan sudah bocor artinya sudah ada yang mendapat sertifikat why not ?. 

Kalau Pak Tonny bilang No Way tapi saya bilang Why Not tidak ada masalah kita sah-sah saja, karena pada orientasinya ada sisi pandang yang berbeda atau kepentingan yang berbeda antara pihak TNK dengan pihak Pemerintah. Saya mencatat ada tiga fungsi yang dipegang oleh Pak Bupati pada waktu beliau menjadi DPR, konsis atau komit dengan Taman Nasional Kutai (TNK), pada waktu di Bapedalda komit juga dengan TNK sekarang fungsinya menjadi Bupati beliau komit dengan masyarakat, karena masyarakat ini mempunyai ikatan primordial yang tidak bisa diabaikan, maka kewajiban Pemerintah memberikan pelayanan termasuk memfasilitasi, infrastruktur kemudian fasilitas lain seperti air, listrik dan sebagainya termasuk sertifikasi daripada hak milik masyarakat yang menghuni lahan itu atau tanah tersebut.

Kalau enclave itu hanya diberikan dalam hakhanya menumpang hidup di TNK itu tidak logis dalam artian karena dari 2 juta ha itu menjadi 198.000 sekian ha ini diambil dari data yang berkembang, kenapa tidak kita kurangi lagi kalau perlu kalau itu hanya untuk kepentingan masyarakat. Katakanlah 100.000 ha itu di zonasasi untuk TNK dan 98.000 ini dibagi lagi mungkin itu untuk derah industri sebagiannya lagi untuk masyarakat. Jadi yang 100.000 ha tadi katakan untuk zonasi TNK atau untuk kenservasi dan sebagainya silahkan saja tapi masyarakat ini diperhatikan tidak akan ada artinya TNK itu tanpa dukungan masyarakat. Masyarakat tidak berpikir panjang seperti kita yang berpendidikan tinggi, mereka hanya berpikir bagaimana agar bisa hidup hari ini dan kalau tadi kata Pak Heru mempercepat dapat uang dengan menebang lahan, masyarakat pun akan demikian tapi kalau kita formalisasikan mereka dalam legalitasnya berapa ha yang akan dilepas TNK kepada masyarakat, TNK tidak akan tergangggu.

Saya tadi keluar di awal lokakarya ini, saya mencatat beberapa poin dari demo masyarakat tadi antara lain bahwa deadline nya pada tanggal 31 Desember tahun 2000 TNK tidak ada lagi, dan yang menghancurkan hutan itu adalah TNK bukan masyarakat, dan dikembangkan lagi tadi pemikiran dari orasi dan oratornya saya tidak kenal bahwa mereka yang mencari kayu dengan sepeda ditangkap sedangkan yang dengan sedan itu dilepas. Kemudian mendukung program Bupati ini point inti. TNK lebih menyayangi satwa daripada manusia jangan lupa manusia mempunyai kelebihan daripada hewan boleh hewan itu dipelihara tapi bagaimana kita menggerakan manusia itu lebih baik lagi. Pertamina juga diminta jangan intervensi DPRD yang akan datang sebab akan mengakomodir aspirasi masyarakat itu beberapa point yang saya catat.

Sekarang persoalannya cobalah kita duduk satu meja dengan istilah yang berbeda boleh saja yang penting bagaimana masyarakat itu diberi hak-haknya karena itu diatur oleh UUD 45. Kita perlu mencari solusinya diantara komponen yang berkepentingan dengan Taman Nasional Kutai (TNK). Kalau kita masih bertahan dengan lokasi yang ada, dengan kondisi yang ada 198.000 ha itu akan dipertahankan kemudian mereka hanya menumpang disini itu akan menjadi persoalan dengan masyarakat. Saya tanya mengapa Pertamina tidak membantu ada kendala katanya tapi saya tidak akan mengatakannya disini, saya katakan kepada beliau walaupun ada kendala dibantulah masyarakat itu dengan dana devplopment daripada kita bentur dengan masyarakatnya kalau kita benturan dengan TNK itu bisa kita bicarakan secara institusi pada level atas tapi dengan masyarakat jangan harap akan aman.

Tolong ini diperhatikan kita berlapang dada kalau 2 juta bisa menjadi 198.000 kenapa dari 198.000 itu tidak bisa berkurang lagi hanya untuk mengamankan 4 desa itu tadi. Ini pemikiran-pemikiran zonasasi dari TNK ini perlu dikaji kembali atau dikembangkan lagi sehingga nanti living in harmony atau kita hidup berdampingan secara harmonis bisa kita realisir dan yang penting lagi dari Lokakarya ini, tidak lagi Lokakarya berkali-kali tapi actionnya dilapangan, saya dengar ini sudah lima kali dibicarakan itu-itu juga yang dibicarakan tidak pernah ada penyelesaiannya.

Kepada Pembentuk Kebijakan jangan sampai konflik itu timbul akibat kebijakan yang keliru, saya perlu garis bawahi bahwa sumber konflik itu ada tiga, pertama konflik horizontal antar etnis, yang kedua konflik horizontal antara si kaya dan miskin dan ketiga yang paling parah adalah kebijakan itu kalau kebijakan tersebut keliru itu akan menimbulkan konflik. Tolong para stakeholder khusunya pada level Pusat yang diwakili oleh Pak Heru bisa mengkaji kembali wilayah TNK ini, mungkin di beri porsi berapa hektar untuk 4 wilayah apakah dengan kondisi yang sekarang berapa puluh hektar yang diperlukan untuk 4 desa tersebut dan jaringan listrik yang sudah ada bisa difasilitasi, jadi saya pikir untuk Pemkab Kutai Timur jalan saja memberikan fasilitasi kepada masyarakat karena itu masyarakatnya tanggung jawab Bapak dan mereka perlu kesejahteraan. Karena fungsi Pemerintah itu memberikan Pelayanan dan kesejahteraan kepada masyarakat maka di 4 desa itu fasilitas sosial termasuk listrik, air, bahkan jalan, pendidikan gedung sekolah bangun saja disitu, kalau nanti ada komplain suruh saja masyarakat Pemerintah akan lari juga nantinya. Karena 16 ribu jiwa itu tidak sedikit tidak mudah untuk dipindah.

Saya bertanya ke Pak Awang Faroek apa kajian strategis untuk Kutai Timur kedepan, Agribisnis saya bilang jangan cuma itu yang dikembangkan perlu juga yang lain apakah itu pariwisata, pariwisata disini ada tiga, yaitu pariwisata bahari, pariwisata budaya dan pariwisata alam. Dan TNK ini adalah pariwisata alam, tapi akan dikembangkan oleh Pak Tonny bagus sekali, itu dengan dificult ethnis bisa mengapa tidak. Tapi masyarakat yang 16 ribu tadi tolong dipikirkan tidak perlu ngotot-ngototan carilah …..solusinya dan saya yakin kalau ini enclave saja tidak ada nanti azas legalitasnya kepada masyarakat, jangan salahkan masyarakat kalau nanti akan ada aksi. Apakah kita tunggu hancur dulu TNK dengan peralatan yang ada baru kita beri ataukah sekarang ini kita bicarakan secara baik-baik dalam waktu tertentu itu perlu di deadline jika tidak percuma saja kita diskusi berkali-kali. 

Peran serta masyarakat dan perspektif para pihak dalam melihat bagaimana Taman Nasional Kutai sudah sering dilakukan, diantaranya dilakukan pada saat Lokakarya Taman Nasional Kutai “Masalah dan Strategi Pengelolaan Menuju Kelestarian Lingkungan” Sangkimah, 31 Oktober 2000, dengan rumusan hasil lokakarya tersebut sebenarnya kita dapat mengetahui bagaimana seharusnya TNK di kelolah dan apa-apa saja yang dapat diperbuat untuk menyelamatkan TNK dan masyarakat yang ada di dalam kawasan tersebut, berikut rumusan lokakarya.

Tidak ada komentar:

Kawasan Konservasi Hutan Kota Mangrove Kota Balikpapan