KELOLA SUMBERDAYA ALAM DEMI MASA DEPAN ANAK CUCU KITA

Senin, 01 Agustus 2011

Wawancara Singkat Perspektif Para Pihak Terhadap TNK..

Wawancara Singkat
Perspektif para pihak terhadap TNK
(Bagian 1).

Oleh:
Fadli Moh. Noch

A. Pemerintah Kabupaten Kutai Timur

Perspektif Pemerintah Kabupaten Kutai Timur memandang. TNK sebagai aset bangsa dan aset internasional yang kaya akan sumberdaya alam perlu penataan-penataan untuk mengantisipasi permasalahan yang timbul nantinya, namun demikian masalah yang terjadi di TNK selama ini menjadi masalah kita semua. Kerusakan-kerusakan TNK disebabkan oleh berbagai macam kegiatan mulai dari eksploitasi sumber daya hutan dan tambang, trasmigrasi spontan yang mengakibatkan pertumbuhan penduduk pada desa-desa tersebut yang mana awalnmya penduduk yang ada pada desa-desa tersebut hanya berkisar 625 jiwa sekarang telah mencapai 16 ribu jiwa yang setiap tahunnya akan bertambah. Hal ini sangat disayangkan lahan-lahan yang tadinya merupakan bagian dari Taman Nasional Kutai kini berubah menjadi pemukiman-pemukiman penduduk.
Seiring dengan perkembangan waktu dan proses-proses yang telah dilakukan, DPRD dan Pemerintah Kabupaten Kutai yang berada di Tenggarong ketika itu dengan dukungan DPRD Kabupaten dan DPRD Provinsi serta restu dari Menteri Dalam Negeri, kawasan-kawasan itu berkembang menjadi desa definitif. Jadilah Desa Sangatta Selatan, Desa Sangkima, Desa Teluk Pandan dan Desa Singa Geweh. Resminya di TNK terdapat 4 desa definitif yang statusnya sama dengan desa yang lain. Pemerintah harus memperlakukan mereka seperti desa yang lain dan juga mereka berhak mendapat KTP serta fasilitas yang memadai sebagaimana Desa pada umumnya.
Read More.....


Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, berharap agar melihat kondisi yang ada seobyektif mungkin, tidak mungkin mengabaikan 16 ribu jiwa yang bermukim dalam kawasan TNK. Disatu pihak memang kita ingin menyelamatkan kawasan TNK namun di pihak lain juga kita harus adil melihat kenyataan bahwa ada 16 ribu jiwa yang harus diselamatkan. Persoalan ini telah diketahui dan dilihat langsung oleh anggota DPR RI Komisi IV, VI, dan VII ketika itu. Pada dasarnya kondisi riil di Sangkimah jauh hari sebelumnya telah ada kegiatan BP (British Petroleum) sejak tahun 1930-an yang sekarang dilanjutkan oleh Pertamina. Masyarakat di 4 desa tersebut telah diberikan oleh Menteri Kehutanan jaringan listrik interkoneksi Kalimanatan, tapi ironisnya listriknya tidak boleh disambung ke rumah-rumah penduduk. Permasalahan seperti itu masih terjadi setelah sudah sekian puluh tahun kita merdeka, semua hanya karena bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan TNK.

Beberapa Tahun yang lalu Pemerintah Kabupaten Kutim mencoba mengadakan perundingan dengan Tonny (Kepala Balai TNK ketika itu) untuk membuat gagasan, bagaimana menyelamatkan TNK. Gagasan itulah yang kemudian menjadi gagasan bersama bukan hanya Pemerintah Kutai Timur tetapi juga gagasan Gubernur yang didukung oleh semua instansi terkait, termasuk semua LSM yang peduli terhadap TNK. Gagasan tersebut kemudian disampaikan kepada Menteri Kehutanan pada bulan Nopember 1999, yang ternyata ketika itu tidak mendapat respon positif dari Menteri Kehutanan. Ketika itu terlebih dahulu telah disepakati antara Pemerintah Kabupaten Kutim dengan LSM bahwa TNK berada dalam status quo artinya masyarakat tidak bisa lagi merambah, melakukan kegiatan pencurian kayu dan sebagainya. Selama dua bulan status quo berjalan respon dari Kementrian Kehutanan juga tak kunjung datang dengan alasan bahwa Kementrian Kehutanan lagi melakukan reformasi. Ketika itu terjadi pergantian di Kementerian Kehutanan mulai Menteri, Sekjen, dan Dirjennya semuanya ganti, yang tersisa pada waktu itu hanyalah pegawai kementerian yang tidak punya kewenangan untuk mengambil keputusan. Dengan kondisi tersebut maka terjadi juga perkembangan di sekitar kawasan TNK masyarakat mulai kembali melakukan perambahan, terjadi pencurian kayu besar-besaran serta kejahatan lainnya yang terus terjadi.

Oleh karena itu, pada tahap selanjutnya perlu juga dibicarakan masalah kewenangan. Secara formal memang kewenangan ada ditangan Pemerintah Pusat, bukan berada di Pemerintah Provinsi dan juga Pemerintah Kabupaten, sehingga dengan demikian sifat saling menyalahkan perlu dijauhi. Kedepannya perlu suatu gagasan yang tepat mengenai kewenangan pengelolaan TNK sehingga dibutuhkan forum-forum guna sarana duduk bersama mencari bagaimana menyelamatkan TNK, sambil memperimbangkan gagasan enclave sebagai tawaran.

Pemerintah Kabupaten Kutim memandang Enclave itu adalah bagian terpenting dalam wacana penyelamatan TNK, dengan adanya enclave ke empat desa defenitif yang ada dalam kawasan TNK menjadi jelas, kemudian penduduk yang berada diluar enclave kita sarankan untuk bergabung ke dalam desa-desa yang sudah di-enclave dengan demikian tinggal dua golongan yang perlu dipikirkan, yang pertama adalah pendatang baru dan golongan kedua adalah spekulan. Bagi golongan pertama kita tawarkan untuk direlokasi ke jalan Muara Wahau-Sangkulirang yang kebetulan Pemda punya program Gerakan Daerah Pengembangan Agro Bisnis (GERDABANG AGRI). Disana akan ada perkebunan-perkebunan besar, dan bagi mereka yang kita relokasikan akan kita berikan tanah masing-masing 2 ha dan mereka menjadi bagian dari plasma-plasma dari perkebunan besar. Mudah-mudahan opsi ini dapat diperbincangkan dalam forum nantinya, namun demikian Pemerintah Daerah tidak mungkin dapat melaksanakan program tersebut tanpa dukungan dari Pemerintah Pusat karena yang punya kewenangan adalah Pemerintah Pusat (Menteri Kehutanan), lain halnya jika forum ataupun pertemuan-pertemuan penting membuat suatu keputusan yang berisi usulan kawasan konservasi dialihkan kepada Pemerintah Kabupaten. Kalau hal itu yang diinginkan, kami Pemerintah Kabupaten Kutim akan berjuang bersama DPRD dan anggaran perimbangan sebagian besar kita curahkan untuk menyelamatkan TNK. Penegakan supremasi hukum di TNK menjadi cita-cita, jika telah ada tapal batas maka kita dapat menertibkan masyarakat kita. Kutai Timur juga sebentar lagi akan memiliki Dinas Lingkungan Hidup yang akan ikut bertanggung jawab dalam menyelamatkan TNK. Untuk Kabupaten Kutai Timur selain TNK ada juga Hutan Lindung yang masuk dalam kawasan administratif Kabupaten Kutai Timur. Untuk itu diharapkan dalam menyelamatkan TNK dan 16 ribu penduduk serta 4 desa defenitif yang ada di dalamnya sebaiknya semua pihak duduk bersama.

Perwakilan DPRD Kabupaten Kutim (H. Abdul Ajarsian) dalam kesempatan ini juga menyampaikan dalam menyikapi persoalan TNK ada dua persepsi yang timbul, pertama dimana kawasan hutan atau Taman Nasional memang menjadi kewajiban Pemerintah untuk melindungi dan mengamankan sebagaimana mestinya, sebab kedua hal tersebut mempunyai dampak positif dalam hidup dan kehidupan dan juga sekaligus mempunyai dampak negatif bilamana dibiarkan begitu saja tanpa ada pengurusan yang jelas. Enam Belas Ribu (16 ribu) jiwa yang ada dalam 4 desa tersebut perlu diperhatikan. Sehingga dengan demikian maka fokus perhatian kita harus dicurahkan pada dua aspek tersebut yaitu perhatian pada manusia yang ada dalam kawasan tersebut juga sekaligus memperhatikan bagaimana keberlangsungan TNK.

Untuk itu langkah yang harus diambil Pemerintah adalah, pertama harus betul-betul membentuk tim untuk menentukan dimana batas definitif antara Taman Nasional Kutai dan batas kawasan pemukiman yang diberikan. Hal ini guna memperjelas kepastian hukum. Untuk saat ini masyarakat sedang menunggu kepastian tersebut. Sekedar diketahui kurang lebih 30 tahun yang lalu Desa Teluk Pandan sudah memiliki bangunan SD Negeri, dengan keberadaan bangunan SD tersebut menandakan bahwa keberadaan Teluk Pandan telah cukup lama berada dalam kawasn tersebut termasuk keberadaan empat desa lainnya .

Pada kesempatan yang sama Isran Noor (Bupati Kutai Timur) menyampaikan, usulan enclave untuk wilayah Taman Nasional Kutai yang masuk Kabupaten Kutai Timur akan terus diupayakan. Bupati Kutai Timur, Isran Noor, menegaskan akan terus berjuang agar usulan pemerintah Kabupaten Kutim yang menghendaki sebagian Taman Nasional Kutai (TNK) yang masuk wilayah Kecamatan Sengata Selatan dijadikan kawasan enclave atau kantung pemukiman, dapat dikabulkan. TNK yang ditetapkan pusat sebagai paru-paru dunia, jauh hari sebelumnya sudah ada penduduk tinggal di sana. Ada areal yang masuk kawasan TNK itu sejak dahulu sudah dihuni warga, seperti di Sangkima. “Di Sangkima itu, sudah puluhan tahun ada warga yang tinggal mengais rezeki dan tinggal di sana, kemudian pemerintah pusat menetapkan hutan TNK itu sebagai kawasan dilindungi, inilah yang menjadi masalah belakangan.”

Oleh karenanya, Pemkab Kutim dibawah kepemimpinannya didukung Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak akan terus memperjuangkan agar sebagian kawasan TNK dijadikan enclave. Kawasan TNK yang dahulu menjadi kebanggaan Kutai Timur dan ditetapkan sebagai salah satu paru-paru dunia, sebagai objek wisata dan juga sebagai tempat pelestarian flora dan fauna, kini hanya tinggal cerita. "Sekarang mana ada lagi hutan di kawasan TNK, binatang langka yang dilindungi juga tidak ada lagi bisa ditemukan. Sebagai objek wisata juga tidak menarik, terbukti tidak ada pengunjungnya." Diakui Bupati, kawasan TNK sebagian sudah beralih fungsi. Ratusan warga di kawasan TNK membuka lahan kebun untuk ditanami palawija, dan tanaman lain guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. “Jadi kalau pemerintah pusat tetap mempertahankan status TNK itu, maka warga yang ada di sana tidak pernah hidup nyaman. Kalau pemerintah pusat tetap mempertahankan, lantas apa manfaatnya bagi masyarakat? Mereka yang sudah terlanjur tinggal di TNK, tentunya akan terusir.” Lantas kalau kawasan TNK dijadikan enclave, maka sudah pasti pemanfaatan lahan tersebut oleh masyarakat dapat dilakukan dengan jelas. Petani bisa menggarap lahan dengan tenang. Pembangunan bisa dilaksanakan secara lancar, dan kesejahteraan masyarakat bakal bisa diwujudkan. “Kalau status TNK tidak diubah, apa yang bisa dilakukan masyarakat di sana? Masyarakat tidak dapat berbuat banyak untuk membangun dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, enclave TNK adalah harga mati, tak bisa ditawar," tegas Isran Noor. 

Selain perspektif para pihak yang disebutkan di atas, juga dilakukan wawancara dengan pejabat instansi pemkab kutai timur. Wawancara dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana perspektif para pihak tentang pengelolaan Taman Nasional Kutai (TNK) dari sudut pandang instansi yang tergabung dalam pemkab kutim.
Menurut Iman Hidayat, kepala bidang fisik dan prasarana BAPPEDA Kabupaten Kutai Timur. Arah pembangunan Kabupaten Kutai Timur sebagaimana tertuang dalam rencana tata ruang Kabupaten Kutai Timur termasuk arah pembangunan Taman Nasional Kutai, memang lokasinya sebagian besaar (80%) berada pada wilayah administrasi Kabupaten Kutai Timur. Di dalam tata ruang yang lama ada yang dikenal dengan tata guna hutan kesepakatan, seiring dengan perubahan paradigama pembangunan dengan adanya Otonomi Daerah terjadilah pemekaran-pemekaran Provinsi maupun pemekeran-pemekaran kabupaten, dengan adanya pemekaran tersebut orientasi pembangunan untuk masing-masing daerah atau wilayah tentunya berubah. Katakanlah dalam hal ini mengenai Taman Nasional Kutai, sebelum adanya pemekeran Kabupaten Kutai Timur orientasinya berada di Tenggarong, otomatis struktur maupun pola pemanfaatan ruangnya berbeda dengan struktur pola pemanfaatan ruang setelah pemekaran.

Pandangan mengenai arah pembangunan Kabupaten Kutai Timur yang juga didalamnya ada Taman Nasional Kutai beliau menyampaikan bahwa arah kedepannya untuk pemerintah sendiri tidak harus melanggar peraturan yang sudah ada, tetapi aturan yang sudah ada harus juga melihat kondisi realita yang ada di lapangan sekarang ini. Sesuai dengan aturan yang sudah ada tentu TNK adalah kawasan yang harus dilindungi, akan tetapi di dalam kawasan lindung itu sendiri pada saat pemekaran Kabupaten sudah ada penduduk, jadi ada kawasan yang sudah digarap kurang lebih 18.000 ha.

Jika dikaitkan dengan arah orientasi seperti yang di katakana di atas, dengan adanya pemekaran wilayah maka secara otomatis perubahan arah tata ruang itu terjadi yang dulunya mengenai Taman Nasional Kutai itu berdasarkan rencana tata ruang Kutai Kartanegara (Tenggarong) sekarang mengikuti rencana tata ruang Kutim. Untuk melakukan rencana tata ruang yang berkaitan dengan TNK maka kita melakukan kajian akademis untuk mengetahui bagaimana tata ruang yang ideal, namun demikian pada saat itu kami belum melakukan kajian hukum. Tahun 2002 setelah kajian akademis yang dibuat ini selesai maka kami mencoba menggabungkan dengan kajian non akademis hal ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana penataan ruang dilakukan. Dari kedua kajian tersebut masing-masing memberikan gambaran dan temuan bahwa disana ada TNK, HPH, dan ijin Pemanfaatan ruang lainnya. Oleh karena itu kita coba mengangkat hal ini ketingkat Provinsi, dengan asumsi kita coba membuat tata ruang kutim seperti keinginan kami (Kabupaten Kutim) namun permasalahannya adalah tata ruang ini tidak bisa dilakukan sendiri maka selanjutnya pembahasannya di lanjutkan pada tingkat Provinsi pada tahun 2004 yang dibahas selama 2 (dua) tahun oleh 13 (tiga belas) Kabupaten/Kota. Ke 13 (tiga belas) Kabupaten/Kota tersebut masing-masing mempunyai konsep tata ruang sendiri yang kemudian masing-masing konsep tersebut akan di paduserasika, dari hasil tersebut keluarlah prodak yang baru bernama Padu Serasi (Padu serasi tata ruang seluruh Kalimantan Timur). Padu serasi inilah yang di usulkan ke pusat, Tetapi secara mekanisme di pusat tidak jelas, siapa yang mau menangani, apakah Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional atau PU. Di penataan ruang nasional juga selalu mengalami masalah terbentur dengan masalah alih fungsi kawasan hutan, baik dari KBNK menjadi KBK ataupun sebaliknya, ini semua kajian yang realistis dari sisi akademis.

Salah satu yang disepakati dalam pembahasan padu serasi di tingkat Provinsi yaitu mengenai pembahasan struktur ruang jalan Provinsi yaitu jalan yang menghubungi Bontang-Sangatta. Berkaitan dengan jalan tersebut dalam paduserasi Provinsi di usulkan ada koridor 500 m dari badan jalan, tetapi hal ini tidak berlaku pada sepanjang jalan Bontang-Sangatta hanya jalan yang secara topografis memungkinkan. 

Lebih lanjut dikatakan, dalam hal kewenangan Pemerintah Pusat dalam hal ini yang diwakili Balai Taman Nasional Kutai dengan Pemerintah Kabupaten Kutim hendaknya ada pemahaman kewenangan dan kewenangan tersebut dibuat berdasarkan aturan yang jelas serta berdasarkan kesepakatan-kesepakatan khususnya dalam hal yang berkaitan dengan TNK, hal ini untuk kejelasan penegakan aturan itu sendiri. Untuk kabupaten sendiri dalam hal tata ruang acuan yang digunakan sebagai dasar tata ruang tentunya selain undang-undang tata ruang dan peraturan yang terkait juga menggunakan paduserasi yang telah disepakati. Tata ruang itu adalah konsep pengembangan pembangunan kedepan.

Disinggung masalah enclave yang diusulkan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur beliau berpandangan bahwa enclave itu merupakan batas atau dikeluarkan untuk mencegah efek yang lebih buruk, sehingga ini perlu dilakukan juga kaitannya dengan kejelasan penataan ruang Kabupaten Kutai Timur. Mengenai enclave ini pemerintah Kabupaten Kutim telah berupaya agar proses enclave ini bisa dilakukan tetapi terbentur pada belum adanya kesepakatan dan tidak adanya persetujuan. 

Sedangkan bagaimana dengan pandangan masyarakat terhadap kebijakan-kebijakn yang di keluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur khususnya yang berkaitan dengan TNK tanpa terkecuali masalah enclave beliau menjelaskan bahwa pada dasarnya masyarakat mau diatur asalkan kesepakatan itu jelas. Selanjutnya beliau berpendapat bahwa siapapun yang nantinya akan mengelolah TNK apakah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah bagi beliau itu tidak masalah asalkan ada kejelasan baik dari segi legal berupa aturan dan kesepakatan serta memperjelas kewenangan masing-masing yaitu antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat jangan sampai terjadi seperti sekarang ini semua serba tidak jelas. 

Menurut Rudy T. Koesnandar (Wakil Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Timur ketika itu) Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Kutai Timur melihat TNK itu tidak terlepas dari kenyataan-kenyataan yang ada dan untuk kemajuan bersama. Bupati Kutim pada saat itu yang sekarang menjadi Gubernur Kaltim ketika masih menjabat Kepala Bapedalda Provinsi sangat konsisten terhadap lingkungan termasuk kelesestarian TNK hal ini tidak diragukan lagi, beliau berkomitmen untuk tetap melestarikan orang hutan dan satwa lainnya yang ada dalam kawasan TNK. Ketika menjadi Bupati Kutim tentunya kebijakan yang diambil berbeda dengan ketika beliau masih menjadi Kepala Bapedalda. Kepala Daerah tentunya akan lebih mempunyai tanggung jawab yang luas bagaimana mengedepankan masyarakat tentunya yang menjadi prioritas utama bukan bagaimana mengurus orang hutan lagi tetapi berkonsentrasi mengurus orang betulan, ungkap Pak Rudi.

Kaitannya dengan TNK bahwa sebenarnya Pemerintah Kabupaten Kutai Timur tetap konsisten terhadap TNK hal ini dibuktikan dengan mendorong agar pelaksanaan tata batas itu segera dilakukan untuk memperjelas batas-batas yang ada sehingga masyarakat yang ada dalam kawasan tersebut juga mengetahui hak-haknya, proses ini sebelumnya disetujui oleh Departemen Kehutanan RI dengan menunjuk tim enclave. Usai penataan batas tersebut banyak upayah yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kutim tentunya bekerjasama dengan pihak-pihak lain diantaranya mengajak perusahaan yang konsisten dan punya kepedulian terhadap TNK sehingga menghasilkan pemagaran kawasan TNK yang telah di enclave pada saat itu, seiring dengan berjalannya waktu dan pergantian tampuk pimpinan di Departemen Kehutanan maka berubah pula visi misinya dan akhirnya berimbas pada daerah yaitu tidak adanya pengakuan dari Departemen Kehutanan RI terhadap proses enclave yang telah dilakukan. 

Dengan tidak diakunyai tata batas enclave yang sudah terpancang itu sama halnya Departemen Kehutanan RI tidak mengakui bahwa disitu ada manusia, padahal jika ditarik akar permasalahannya kenapa manusia berada dalam kawasan tersebut? ini sama halnya dengan ungkapan pepatah “Ada gula ada semut” manusia sebagai semutnya gulanya adalah pertaminanya. Pertanyaannya kemudian siapa yang mengizinkan pertamina berada dalam kawasan TNK ya tentunya pemerintah, untuk itu apa bedanya dengan keberadaan masyarakat dalam kawasan TNK.

Berkaitan dengan persoalan yang terjadi pada TNK dan untuk mengatasi persoalan tersebut Pemerintah Kabupaten Kutim bersama-sama Pemerintah Pusat yang diwakili oleh Balai Taman Nasional telah sepakat melakukan koordinasi khususnya dalam hal penataan batas namun pada kenyataannya Pemerintah Kabupaten Kutim menyatakan bahwa Balai Taman Nasional Kutai tidak konsisten dengan perjungan semula hal ini sangat jelas bahwa Balai TNK sebagai koordinator pelaksana tata batas enclave pada tahun 2000-2003, setelah ada keputusan dari Departemen Kehutanan RI tidak mengakui tata batas enclave yang telah dilakukan pihak Balai TNK tidak berusaha meyakinkan bahwa prose itu telah dilakukan dan bahkan cenderung mendukung keputusan Departemen Kehutanan.

Berkaitan dengan persolan tersebut maka menurut pendapat kami bahwa sebaiknya status Balai TNK dipindahkan saja menjadi otonom bergabung dengan daerah dan dibawah kendali Bupati, bukan lagi dibawah struktur Departemen Kehutanan tetapi berada dibawah struktur Pemerintahan Kabupaten Kutai Timur.

Perlu saya sampaikan juga bahwa keterlibatan masyarakat terhadap TNK, masa kini sudah lain dengan 2-3 tahun lalu. Dulu mereka masih menghormati tata batas yang telah dilakukan, bahkan ada penduduk yang bersedia untuk direlokasi ke tempat lain apabila mereka berada dalam kawasan TNK, namun untuk saat ini mereka siap mati untuk mempertahankan tanah yang mereka huni dengan dalil bahwa ini adalah tanah nenek moyang mereka. Hal ini tentunya disebabkan karena ketidak jelasan tata batas yang ada.

Untuk itu saya berpendapat bahwa sebaiknya pengelolalaan TNK berada dibawah kendali atau koordinator Dinas Kehutanan Propinsi hal ini tentunya ada alasannya, kita ketahui bahwa TNK itu berada wilayah administrasi Kota Bontang dan Kabupaten Kutim maka sudah sewajarnya pengelolaannya itu berada di daerah (Provinsi). Selanjutnya pengelolaan secara tehnis sebaiknya disepanjang jalan Bontang-Sangatta yang sudah di rambah oleh masyarakat sekitar 10 km lebih, harus ditanami dengan tanaman perkebunan seperti karet dan lain-lain, hal ini untuk menunjang kebutuhan masyarakat yang berada disekitar serta sebagai alternatif agar masyarakat mempunyai kegiatan dan sekaligus penghasilan sehingga menghindari kebiasaan merambah hutan. Adapun masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan tersebut tetap direlokasi pada daerah yang telah dienclave, sistem pengelolaan ini semacam pengelolaan kolaboratif dimana ada masyarakat pemerintah dan lainnya. 

Mengingat TNK memiliki fungsi sosial, ekonomi dan ekologi yang cukup strategis maka pelestariannya merupakan suatu hal yang mutlak. Upaya ini antara lain dapat dilakukan melalui reorientasi pengelolaan TNK dengan menjaga keseimbangan interaksi TNK dengan masyarakat sekitar dan dalam kawasan.Upaya ini tentu saja tidak mudah, karena perlu melibatkan berbagai pihak dengan beagam kepentingan.


Bersambung.............

Tidak ada komentar:

Kawasan Konservasi Hutan Kota Mangrove Kota Balikpapan