KELOLA SUMBERDAYA ALAM DEMI MASA DEPAN ANAK CUCU KITA

Senin, 01 Agustus 2011

Meninjau Kewenangan Pengelolaan TNK Dalam Perspektif Otda

Meninjau
Kewenangan Pengelolaan Taman Nasional Kutai
Dalam Perspektif Otonomi Daerah
(Kewenangan Pengelolaan Pusat dan Daerah)

Oleh:
Fadli Moh. Noch

Sidang Istimewa MPR bulan Nopember 1998 merupakan titik berangkat pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, hasil sidang tersebut ditetapkan ke dalam TAP MPR No. XV/ 1998. Penjabarannya dituangkan kedalam pembagian kewenangan urusan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam UU No. 22 Tahun 1999, dimana Pasal 7 ayat 2 UU No. 22 Tahun 1999 mencantumkan bahwa kewenangan dibidang lain meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia, pendayagunaan sumberdaya alam serta teknologi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional. Dengan mempertimbangkan bahwa Taman Nasional termasuk dalam kelompok konservasi, maka kewenangan daerah dalam hal pengelolaan Taman Nasional menjadi terbatas. Maka dalam konteks pengembangan wilayah dan masyarakat di sekitar dan dalam kawasan Taman Nasional yang merupakan kewenangan daerah perlu dicari jalan keluarnya secara terintegrasi dengan pengelolaan TNK, serta pemanfaatan sumberdaya alamnya tanpa melanggar peraturan diatasnya.
Read More............


Kewenangan untuk mengelola Taman Nasional merupakan bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/ Kota maupun Provinsi, artinya kewenangannya diletakan pada Daerah Provinsi, artinya pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan Pemerintah terutama yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah. Untuk itu guna menjaga kelestarian fungsi lingkungan serta keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam, maka kebijakan konservasi serta kebijakan pemberdayaan sumberdaya alam merupakan kekayaan nasional harus dikelola secara bijaksana dan berkelanjutan untuk kemakmuran rakyat, untuk itu diperlukan standarisasi dan kebijakan secara nasional . Sehingga pengelolaan Taman Nasional tidak hanya bergantung pada pengelola dan teknis konservasinya, seharusnya juga didukung secara terpadu oleh Pemerintah Daerah dalam hal pengembangan wilayah. Kembali merujuk pada Rapiuddin (hal. C3-19) maka Pemerintah daerah berperan dalam 2 aspek penting yakni: Pertama: menterpadukan pembangunan wilayah dan konservasi Taman Nasional. Kawasan penyangga merupakan area/wilayah diluar taman yang merupakan wilayah Kabupaten atau antar Kabupaten dan berbatasan langsung dengan taman nasional, berfungsi untuk menjaga integritas perlindungan dan konservasi keanekaragaman hayati yang terdapat dalam taman, melindungi kawasan pertanian/budidaya di luar taman. Agar fungsi tersebut dicapai langkah pertama yang harus dilakukan Pemerintah Daerah adalah, penentuan area/daerah penyangga yang diakomodasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi / Kabupaten, sehingga pemanfaatan ruang daerah penyangga dapat sesuai dengan rencana pengelolaan zonasi Taman Nasional. Kedua: sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999, daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dnegan peraturan perundang-undangan, serta Pasal 11 ayat (2), bahwa lingkungan hidup dan pertanahan merupakan salah satu kewenangan wajib yang dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam perjalanannya UU No. 22 Tahun 1999 tidak menjawab permasalahan kewenangan pengelolaan sumberdaya alam secara nyata, pengaruhnya ke pengelolaan TNK tidak terlihat jelas, yang ada hanya pengajuan usulan-usulan untuk ‘enclave’ kawasan dan perubahan status kawasan dalam TNK yang sudah didiami masyarakat menjadi kawasan budidaya non kehutanan. Lainnya adalah ketidak jelasan makna desentralisasi , hal ini dapat dilihat dari rumusan istilah ‘kewenangan lain’, yang diterjemahkan dalam PP No. 25 tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, dimana kewenangan lain tersebut dijabarkan pada 218 wewenang pusat yang dikelompokan dalam 25 bidang, 111 wewenang untuk provinsi yang dikelompokan dalam 20 bidang, dan tidak jelasnya jumlah dan jenis kewenangan dan kelompok bidang untuk Kabupaten/Kota . 

Kemudian perubahan UU No. 22 Tahun 1999 dicabut dan diganti dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kembali menggunakan 3 bentuk pembagian urusan, yakni Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (dalam UU No. 22 Tahun 1999 disebut Tugas Pembantu). Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu sedangkan tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau desa dari Pemerintah Provinsi kepada Kabupaten/ Kota dan/ atau/ desa serta dari Pemerintah Kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu 

Diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah yang berlaku Januari 2001, masih dalam suasana kehangatan euforia demokrasi dan reformasi, hingga ‘lupa’ apa sebenarnya untuk memahami hakekat ‘otonomi’ itu sendiri. Otonomi daerah pasca 1999 bukan merupakan konsep baru. Sedikit kembali ke masa lampau. Tahun 1903, Jaman Hindia Belanda telah mengeluarkan Decentralisatie Wet 1903, kemudian sejak kemerdekaan telah terbit beberapa UU mengenai Pemerintah Daerah, dimana dalam kurun waktu 5 dekade Indonesia memiliki: UU No. 1 Tahun 1945 Tentang komite Nasional Daerah, UU. No. 22 Tahun 1948, Undang-undang Pokok Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 18 Tahun 1965 Tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah, Tap MPRS No. XXI Tahun 1966 tentang Pemberian Otonomi seluas-luasnya kepada Daerah (UU ini tidak ditindak lanjuti pada masa rejim OrBa), yang selanjutnya mengeluarkan; UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah, TAP MPRS No. XV Tahun 1998 yang kemudian menetapkan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. 

Rangkaian perundangan otonomi tersebut menggambarkan pembagian urusan dan kewenangan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya, bersifat administratif, bertanggung jawab kepada pusat, memiliki hak dan kewajiban, dan posisi struktural. Bidang-bidang yang menjadi kewenangan Daerah antara lain; Budaya, Pendidikan dan Kesehatan.

Dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah, telah dengan detail membagi urusan Pusat dan Daerah, mulai dari urusan administrasi hingga Pengelolaan sumberdaya alam. UU ini mengatur urusan Kehutanan sebagai urusan pilihan oleh daerah sebagaimana tercantum dalam pasal 7 ayat 3 dan 4, yang menyatakan bahwa urusan pilihan Pemerintah Daerah, meliputi: Kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, energi dan sumberdaya mineral dan pariwisata. Selanjutnya dalam bagian Lampiran PP dijelaskan bahwa sub bidang perencanaan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota hanya memberi pertimbangan teknis pengesahan rencana jangka pendek, menengah dan jangka panjang untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, tamana wisata alam dan taman buru skala Kabupaten/ Kota. Pembagian urusan Pemerintahan ini dengan detail sebenarnya tidak mengubah kekaburan pengertian, melalui kalimat sloganitas-retorikal yang sampai kini masih kabur pengertiannya, ialah “Pusat itu adalah pusatnya daerah dan daerah-daerah itu adalah Daerahnya Pusat”. Slogan ini telah ada dimasa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 mengenai pemerintah daerah yang mengandalkan prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Namun yang terjadi adalah Pemerintah (Pusat) terus menerus mengeksploitir semua sumberdaya di daerah di bawah satu sistem kekuasaan yang oligarkhis-cronyis, sehingga negara ini bergeser kepada mode monarchie dan oligarchie secara terselubung (Vencopte monarehieen oligarehie). Pembagian urusan ini pun masih cendrung urusan administrasi dan rekomendasi, yang masih terpusat pada Pemerintah Pusat. 

Pelaksanaan otonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam, mengikuti perubahan-perubahan sistem pemerintahan ini dalam bentuk; Izin baru oleh pemerintah daerah, dalam wilayah yang sudah memiliki status tertentu. Misalnya Izin usaha atau rekomendasi kawasan pertambangan yang sebagian luasannya termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional.

Urusan pengelolaan kawasan konservasi suaka alam dan pelestarian alam, salah satunya termasuk Taman Nasional, dilakukan melalui pengaturan konservasi setingkat undang-undang sebelumnya menggunakan pengaturan warisan Kolonial Belanda, sejumlah peraturan warisan Pemerintahan Belanda yang berkaitan dengan perburuan, perlindungan binatang liar, maupun perlindungan alam tersebut selanjutnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. . Hingga diundangkannya UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dimana dalam bagian Penjelasan menyatakan bahwa UU ini merupakan dasar hukum bagi pengelolaan kawasan Konservasi Sumberdaya hayati. Sehingga dengan berlakunya UU ini, urusan pengelolaan konservasi berada pada Pemerintah Pusat, dengan sedikit mencantumkan peran daerah. 

Pada tahun yang sama, satu bulan sebelum dikeluarkan UU 5 tahun 1990, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Tentang Kawasan Lindung No. 32 tahun 1990 tertanggal 25 Juli 1990, yang mengatur tentang kawasan-kawasan yang berkait dengan kawasan suaka alam dan kawasan Lindung . Dalam Keppres ini, Taman Nasional termasuk dalam kelompok kawasan suaka Alam, berbeda dari yang dicantumkan dalam UU No. 5 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa Taman Nasional termasuk dalam kelompok Kawasan Pelestarian Alam. Sehingga, dasar hukum yang digunakan untuk konsepsi Taman Nasional menurut perundangan adalan UU No. 5 Tahun 1990, bukan Taman Nasional yang ada dalam Keppres No. 32 Tahun 1990. Kedua ketentuan ini juga mencantumkan bahwa peran pengelolaan ada di tangan Pemerintah Pusat, sedangkan Pemerintah daerah diminta terlibat dalam pengelolaan.

Berlakunya UU No. 32 tahun 2004 dan PP No. 38 tahun 2007, mencoba memperjelas pembagian urusan yang masih belum terjawab dalam UU No. 22 Tahun 1999. Dalam UU yang baru ini, terutama untuk pengelolaan SDA, Daerah otonom memiliki kewenangan, secara umum kewenangan tersebut meliputi: kewenangan teknis pengelolaan SDA dalam bentuk izin untuk penyediaan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan SDA di daerah dan kewenangan mengatur dan mengurus SDA yang merupakan satu kesatuan yang utuh baik pengelolaan yang meliputi perencanaan, pemanfaatan/pengelolaan, pemulihannya. Untuk bidang kehutanan, termasuk ke dalam kelompok kewenangan pilihan. Pemerintah Daerah dapat mengeluarkan produk hukum daerah seperti Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan atau Surat Keputusan Bupati untuk mendukung kegiatan konservasi dan pengelolaan konservasi bersama Balai Taman Nasional. Pemberlakukan ini, ditujukan untuk melakukan reorganisasi hubungan Pemerintah Pusat Daerah pasca UU No. 22 Tahun 1999, yang telah menghasilkan rangkaian permasalahan kewenangan, tumpang tindih peraturan dan penyelenggaran pemerintahan sebagai daerah otonom. 

Namun apakah reorganisasi hubungan kewenangan ini turut membantu menyelesaikan permasalahan pengelolaan Taman Nasional? Ternyata belum, melihat kondisi TNK sekarang, pemberlakuan UU No. 32 Tahun 2004 serta PP. No. 38 Tahun 2007 justru semakin mengurangi peran Pemerintah Daerah/ Kabupaten untuk ikut mengelola kawasan TNK, meski Pasal 17 UU ini mencantumkan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat 4 dan ayat 5, meliputi: a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak budidaya dan pelestarian; b. bagi hasil atas atas pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya; dan, c. Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.

Meski telah ada rangkaian peraturan teknis yang memberi peluang untuk pengelolaan bersama antara Balai TNK, Pemerintah Daerah dan Masyarakat. namun hanya sebatas pemberian rekomendasi untuk rencana pengelolaan jangka pendek, menengah dan panjang (Lampiran pembagian urusan kehutanan sub bidang Perencanaan).

.....................................................Sekian.........................................................

Tidak ada komentar:

Kawasan Konservasi Hutan Kota Mangrove Kota Balikpapan