KELOLA SUMBERDAYA ALAM DEMI MASA DEPAN ANAK CUCU KITA

Senin, 01 Agustus 2011

Wawancara Singkat Perspektif Para Pihak Terhadap TNK..


Wawancara Singkat
Perspektif para pihak terhadap TNK
(Bagian 2).

Oleh:
Fadli Moh. Noch

B. Lembaga Swadaya Masyarakat

BIKAL sebagai organisasi non pemerintah yang aktif melakukan fasilitasi masyarakat dan para pihak di dalam dan sekitar kawasan TNK, mempunyai komitmen untuk mendorong upaya pelestarian TNK sekaligus menjembantani konflik antara masyarakat dengan pihak Pengelola Taman Nasional Kutai. Dalam hal ini BIKAL memandang bahwa interaksi masyarakat dengan TNK perlu dipecahkan bersama melalui suatu pendekatan win-win solution dengan ketentuan dalam perundang-undang yang berlaku.

Upaya pemecahan yang diusulkan oleh BIKAL dalam hal ini berupa pengembangan Zona Pemanfaatan Tradisonal (ZPT). Dalam hal ini masyarakat sasaran tetap diperbolehkan untuk mengelolah suatu kawasan tertentu dalam taman nasional, dimana mereka juga dilibatkan untuk berpartisipasi langsung dalam pengelolaan taman nasional. Kegiatan pengembangan ZPT tersebut diharapkan dapat mencapai tujuan sebagai berikut:
  1. Mencegah bertambah luasnya perladangan dalam kawasan Taman Nasional Kutai
  2. Menjamin keaslian dan keutuhan mutu ekosistem hutan alam yang tersisa
  3. Memulihkan fungsi hidrologis kawasan Taman Nasional Kutai yang dirambah dengan kegiatan rehabilitasi jenis-jenis pohon kehidupan
  4. Membentuk lembaga kemitraan antar taman nasional dengan masyarakat, sehingga dalam jangka panjang akan membantu dalam pengelolaan dan pengamanan taman nasional.
  5. Menjembatani konflik kepentingan antara para pihak terhadap Taman Nasional Kutai, khususnya antara Pemerintah Daerah, Balai Taman Nasional Kutai dan masyarakat.
Selain hal di atas BIKAL juga memandang perlu upaya-upaya konkrit dalam menyelesaikan persolan kompleks yang melanda Taman Nasional Kutai. Upaya-upaya itu diantaranya:  Read more.....

Pertama, penentuan tapal batas harus menjadi prioritas utama, jika kawasan Taman Nasional Kutai memang ingin diselamatkan. Persoalan ini mencuat karena memang selama ini masyarakat tidak melihat batas yang jelas antara wilayah desa yang telah ditetapkan berdasarkan keputusan resmi pemerintah. Pertentangan batas ini, sebenarnya justeru berawal dari sikap dan perlakuan represif yang selama ini dijalankan pihak Balai Taman Nasional Kutai. Konflik ini yang berkepanjangan terus berlangsung tanpa upaya serius untuk menuntaskannya. Sementara dipihak lain, masyarakat juga menilai bahwa keberadaan mereka di dalam kawasan adalah legal karena lebih dahulu daripada keberadaan staf balai taman nasional dan telah ditetapkan sebagai desa definitif oleh pemerintah.

Proses campur aduknya antara wilayah desa definitif dengan kawasan Taman Nasional Kutai, telah melahirkan pertentangan yang tak ada ujung pangkalnya, dimana Balai Taman Nasional Kutai menyatakan desa-lah yang masuk dalam kawasan, sebaliknya pemerintah dan masyarakat desa mengklaim TNK-lah yang masuk dalam wilayah desa.

Kedua klaim diatas sulit dibedakan mana yang benar, karena keduanya telah memiliki dasar hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Balai Taman Nasional Kutai memiliki Surat Ketetapan yang dikeluarkan Menteri, sedangkan masyarakat dan pemerintah desa juga memiliki Surat Keputusan Desa Definitif yang dikeluarkan Gubernur. Situasi yang diawali konflik kebijakan ini membutuhkan situasi kompromi. Tuntutan masyarakat yang tidak dapat dibendung lagi adalah penentuan tata batas atau sering diistilahkan dengan enclave.

Dengan penetapan tapal batas, diasumsikan bahwa masyarakat akan mengetahui sampai sejauhmana mereka tetap memiliki hak. Dalam prosesnya enclave ini menjadi tidak gampang dan sederhana, karena berbagai pihak berkepentingan juga ikut bermain dalam hal ini, khususnya kepentingan politis dan para spekulan lahan. Hal yang perlu dicatat bahwa dalam proses menentukan batas wilayah enclave harus didasarkan pada beberapa aspek pertimbangan, seperti: sejarah perkampungan, status kepemilikian lahan, orientasi pengembangan ekonomi masyarakat, dan kesesuaian lahan dengan jumlah penduduk setempat, dan sebagainya.

Selain itu diperlukan keterlibatan aktif para pihak yang terkait terutama Pemda, Balai Taman Nasional Kutai, dan masyarakat, proses penggodokan penentuan enclave juga memerlukan niat dan kesungguhan untuk mencari solusi secara bersama-sama, sehingga tidak menimbulkan masalah baru lagi di kemudian hari. Penetapan tata batas (enclave) memang disadari bukan merupakan solusi yang terbaik, karena masih mengandung resiko terhadap perambahan sistematis kawasan Taman Nasional Kutai. Namun proses enclave ini harus dipandang sebagai proses antara untuk menjembatani kebuntuan hubungan, khususnya antara Balai Taman Nasional Kutai dengan masyarakat. Sehingga perlu pula diupayakan aturan main dan kesepakatan yang partisipatif dan lestari untuk menjadi bahwa proses enclave bukan perambahan sistematis tahap kedua terhadap kawasan taman nasional.

Kedua, upaya penegakan hukum dan perbaikan kebijakan. Penetapan tata batas (enclave) yang menjadi solusi awal sama sekali tidak akan ada artinya jika penegakan hukum tidak dijalankan. Oleh karena itu keterlibatan para penentu kebiijakan dan penegak hukum secara aktif dan berkesinambungan adalah suatu yang mutlak. Keadilan hukum menjadi syarat mutlak hukum agar kesepakatan yang ada dapat dihargai oleh masyarakat. Setiap pelanggar hukum dan kesepakatan harus ditindak tanpa diskriminasi, setiap orang harus mendapat perlakuan hukum yang sama. Jika hal ini sudah mampu diimplementasikan oleh para penegak hukum, maka setiap orang akan menghargai hukum itu sendiri. Dengan demikian, ada jaminan bagi pelaksanaan kesepakatan tata batas di lapangan.

Bumerang yang selama ini terjadi di kawasan Taman Nasional Kutai, bahwa perlakuan yang tidak adil terhadap masyarakat pemukim di dalam kawasan telah memupuk sifat pembangkangan di masyarakat. Masyarakat menilai, bila keberadaan perusahaan seperti Pertamina, PT. Indominco, dan PT. Pupuk Kaltim yang termasuk dalam kawasan atau dahulu termasuk dalam kawasan taman nasional dan dapat dengan bebas membangun segala fasilitas yang dibutuhkan. Lantas mengapa masyarakat tidak boleh?

Contoh konkrit, Pertamina yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Kutai dan menguasai sekitar 5.000 hektar lahan, justeru mendapat pengakuan legal dari pihak pemerintah. Lantas mengapa masyarakat yang hanya ingin memperoleh tempat hidup dengan mnguasai 1-2 hektar saja, justeru tidak diperkenankan. Tentu saja hal ini menjadi pertanyaann serius di kalangan masyarakat.

Pada tataran kebijakan, diperlukan penyempurnaan kebijakan atau peraturan tentang pengelolaan kawasan konservasi semisal taman nasional, sehingga benturan-benturan antara satu aturan dengan aturan yang lain tidak terjadi. Contoh konkrit, penetapan keberadaan desa defenitif di dalam kawasan konservasi memerlukan perangkat kebijakan yang lebih detail dan jelas, sehingga tidak terjadi benturan pada tingkat lapangan dimana masyarakat diposisikan sebagai obyek penderita. Selain itu, diperlukan sinergi atau koordinasi kebijakan pada instansi pemerintah baik antar pusat dan daerah maupun antar instansi tingkat daerah, sehingga kebijakan yang diambil tidak justeru menambah persoalan baru dan menyengsarakan rakyat.

Ketiga, pemberdayaan sosial dan ekonomi masyarakat di kawasan Taman Nasional Kutai. Adanya kebutuhan lahan bagi masyarakat guna mengembangkan kegiatan-kegiatan pertanian dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup masyarakat telah menjadi benturan kepentingan ketika berhadapan taman nasional, justeru status untuk melindungi kawasan. Perdebatan yang menyangkut kebutuhan hidup manusia menjadi topik yang dikedepankan masyarakat ketika berhadapan dengan kepentingan perlindungan kawasan taman nasional. Masyarakat selalu menilai bahwa kepentingan perut adalah segala-galanya, sementara pihak balai taman nasional sendiri tidak menjelaskan secara tuntas bagaimana dan apa manfaat keberadaan taman nasional bagi masyarakat.

Pendekatan program pemberdayaan pertama yang perlu dirumuskan adalah dukungan terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam bidang usaha pertanian. Pendekatan ini perlu segera diterapkan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya perambahan kembali, khususnya pasca penerapan enclave.

Juga diperlukan upaya-upaya untuk terus membangkitkan rasa optimisme masyarakat untuk dapat hidup sejahtera dalam wilayah enclave, sehingga mereka tidak merasakan berada dalam wilayah yang terkungkung dan sempit. Sehingga masyarakat tidak semata-mata berfikir soal luasan lahan yang harus dikuasai. Hal ini membutuhkan kesungguhan semua pihak, terutama pemerintah daerah dalam mengembangkan usaha pertanian masyarakat, sehingga harapan yang selama ini didambakan masyarakat dapat menjadi kenyataan. Secara konkrit, bentuk-bentuk bantuan yang diharapkan, antara lain:
  1. Pembangunan irigasi pertanian
  2. Pembenahan fasilitas transportasi seperti jalan, khususnya pada perkampungan yang relatif terpencil.
  3. Pendampingan manajemen usaha pertanian secara berkelanjutan.
  4. Mempersiapkan penyuluh pertanian sebagai pendamping dimasyarakat
  5. Menyiapkan posko pengaduan masyarakat petani sebagai bentuk pelayanan nyata dalam usaha keberhasilan pertanian rakyat.
Hal diatas hanya merupakan sebagian dari contoh yang mungkin dapat dikembangkan, jika kita sepakat ingin menyelamatkan Taman Nasional Kutai (TNK) dengan tetap memperhatikan kesejahtraan masyarakat yang ada di dalamnya. Selama pengembangan program pertanian langsung, perlu pula difikirkan untuk pengembangan usaha skala rumah tangga, khususnya bagi remaja putri dan ibu rumah tangga. Tentu saja pilihan, usaha kecil ini harus didasarakan pada ketersediaan sumberdaya pendukung yang ada dan juga kemamoua dasar kaum perempuan itu sendiri. Sebagai contoh, misalnya pengembangan usaha minyak goreng kelapa, kripik pisang, selai salak, manisan buah untuk skala rumah tangga.

Kontribusi usaha skala rumah tangga ini tidak dapat dipandang remeh, khususnya dalam upaya penyediaan lapangan kerja bagi kaum perempuan dan upaya peningkatan kesejahteraan keluarga. Tentu saja, potensi perempuan desa ini memerlukan dukungan peningkatan keterampilan dan manajemen usaha, serta tidak kalah pentingnya adalah dukungan modal dan pemasaran.

Upaya peningkatan pencapaian jenjang pendidikan formal, perlu segera disiapkan sejak awal. Diasumsikan bahwa dengan peningkatan pencapaian jenjang pendidikan formal akan memperbaiki pemahaman masyarakat terhadap keberadaan konservasi. Meskipun demikian, asumsi ini masih terbuka untuk diperdebatkan, karena tingkat pendidikan bukanlah jaminan bagi upaya pelestarian kawasan taman nasional. Dengan tingkat pendidikan yang memadai juga diharapkan masyarakat dapat lebih kreatif untuk mengembangkan potensi ekonominya, sehingga tidak hanya terpaku untuk menjadi perambah atau spekulan lahan atau tukang tebang kayu (chainsawman).

Seiring dengan tuntutan reformasi dan otonomi daerah, pengelolaan Taman Nasional Kutai di masa depan hendaknya tidak hanya dibebankan kepada Balai Taman Nasional Kutai semata. Diperlukan semacama forum atau badan bersama yang melibatkan berbagai pihak kepentingan, mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Masyarakat dan pihak Swasta serta pihak berkepentingan lainnya. Forum atau badan bersama ini dapat menjadi wahana untuk mengkonsolidasikan sekaligus mengkoordinasikan berbagai kebijakan yang menyangkut pengelolaan Taman Nasional Kutai. Dengan demikian, terhadap kawasan Taman Nasional Kutai sendiri ada konsistensi dan kejelasan kebijakan sehingga tidak membingungkan masyarakat.

Bersambung........

Tidak ada komentar:

Kawasan Konservasi Hutan Kota Mangrove Kota Balikpapan