KELOLA SUMBERDAYA ALAM DEMI MASA DEPAN ANAK CUCU KITA

Selasa, 17 Agustus 2010

EUPHORIA PERDA CSR


Euphoria Peraturan Daerah
Corporate Social Responsibility
(CSR)

Oleh:
Fadli. Moh. Noch

Pemerintah Kota Balikpapan, akan mempertimbangkan perumusan peraturan daerah pelaksanaan CSR untuk diberlakukan di perusahaan Balikpapan. “Sehingga saat ada Perda, ada sanksi bagi mereka yang tidak mematuhinya. Sekarang ini kami cuma bisa mendata CSR dilaporkan perusahaan,”.

A. Pro-Kontra CSR.

Fenomena Corporate Social Responsibility (CSR) sampai saat ini masih tetap menarik untuk di perbincangkan, hal ini tentunya tidak lepas dari adanya pro dan kontra tentang pemahaman CSR itu sendiri. Bagi komunitas yang kontra terutama dari kalangan pebisnis bahwa CSR adalah konsep dimana perusahaan, sesuai kemampuannya, melakukan kegiatan yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup. Kegiatan-kegiatan itu adalah diluar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam peraturan perundangan formal, seperti ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Mereka berpendapat, jika diatur, selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Selain itu bagi kebanyakan perusahaan CSR dianggap sebagai parasit yang dapat membebani biaya “Capital Maintenance”. Kalaupun ada yang melakukan CSR, itupun dilakukan untuk adu gengsi. Jarang ada CSR yang memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat.

Sementra untuk kalangan yang pro CSR, menganggap bahwa keberadaan suatu perusahaan terutama yang berskala besar akan membawah ketimpangan antara kesejahteraan pimpinan, pekerja dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya yang kemudian akan menimbulkan ketidak-nyamanan, ketidak-amanan, konflik dan gangguan proses produksi, dan kesenjangan kualitas manusia. Keberadaan suatu perusahaan, disuatu kawasan atau masyarakat biasanya akan mempengaruhi lingkungan. Untuk itu keberadaan CSR sangat diperlukan bukan karena diwajibkan oleh pemerintah atau penguasa, melainkan merupakan komitmen yang lahir dalam konteks etika bisnis (beyond legal aspects) agar sejahtera bersama masyarakat berdasarkan prinsip kepantasan sesuai nilai dan kebutuhan masyarakat. CSR merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan perlakuan etis terhadap stakeholders, baik yang berada di dalam maupun di luar perusahaan.
Read More.... 

Istilah CSR seharusnya dipahami sebagai nilai, kepedulian, komitmen dan tindakan sukarela perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan stakeholder perusahaan, yang meliputi pesaham, pimpinan, pekerja beserta keluarganya, suplier, mitra, konsumen dan masyarakat, terutama masyarakat yang terdekat. Pada kenyataannya, komitmen yang sering terabaikan adalah komitmen untuk meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas. Dalam pemahaman lain kemudian berkembang bahwa suatu perusaahaan seharusnya tidak hanya mengeruk keuntungan, tetapi juga mempunyai etika dalam menggunakan sumberdaya manusia dan lingkungan guna turut mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Namun demikian tulisan ini tidak bermaksud mendalami mengenai pro dan kontra masalah CSR tersebut. Tulisan ini dibuat untuk merespon mengenai berita yang dirilis oleh media online beberapa waktu lalu khususnya menanggapi wacana Raperda CSR di Kota Balikpapan. Juga sekaligus bahan diskusi terbatas untuk kalangan pemerhati CSR dan sebagainya.

Sebagaimana yang diberitakan oleh beberapa media on line, bahwa dari 34 perusahaan di Kariangau, Balikpapan Barat, baru 7 perusahaan yang menyalurkan CSR. Sisanya, sebanyak 27 perusahaan memilih disebut pengemplang CSR . Selanjutnya keterangan serupa juga disampaikan oleh Pemerintah Kota Balikpapan Kalimantan Timur yang menyatakan, pada periode tahun 2008-2009 perusahaan yang melaksanakan ketentuan corporate social responsible (CSR) masih terbilang kecil dari sekitar 1.350 perusahaan dan 200 di antaranya adalah perusahaan besar, hanya 20 perusahaan atau 10 persen diantaranya yang kooperatif melaporkan kewajiban program CSR pada masyarakat Balikpapan. Dari 20 perusahaan tersebut, terkumpul dana CSR sebesar Rp 7,2 miliar dari masing-masing perusahaan. Dana tersebut, diberikan berupa program pengembangan sumber daya manusia masyarakat Balikpapan. Hingga bulan Juli 2010, realisasi CSR Balikpapan hanya sebesar Rp 4 miliar untuk pengembangan SDM masyarakat Balikpapan. Hanya 20 perusahaan yang kembali kooperatif melaksanakan program CSR serta melaporkan pelaksanaannya pada Pemkot Balikpapan.

Jika dilihat data tersebut memang sangat fantastis, dimana perusahaan yang dikategorikan pengemplang CSR di Kota Balikpapan mencapai 90 persen. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka beberapa wacana yang dilontarkan adalah dengan mempertegas aturan main melalui Peraturan Daerah. Wacana ini sebagimana disampaikan oleh Pemerintah Kota Balikpapan melalui (Suryanto) , yang akan menyosialisasikan kewajiban pelaksanaan CSR pada seluruh perusahaan di wilayah Kota Balikpapan juga mempertimbangkan perumusan peraturan daerah pelaksanaan CSR untuk diberlakukan pada perusahaan yang ada di Balikpapan. “Sehingga saat ada Perda, ada sanksi bagi mereka yang tidak mematuhinya. Untuk sekarang yang bisa dilakukan cuma bisa mendata CSR yang dilaporkan perusahaan”. Hal senada juga sebelumnya telah di utarakan oleh anggota komisi II DPRD Kota Balikpapan Sabaruddin bahwa, dana corporate social responsibility (CSR) yang dulunya bernama community development (comdev) disebut sebagai kewajiban perusahaan. Gara-gara kewajiban tersebut tidak ditunaikan atau ditunaikan tapi tidak sesuai kepatutan, tak jarang konflik sosial masyarakat versus pengusaha terjadi. Jalan keluarnya, ditetapkan peraturan daerah (perda) terkait besaran CSR.

B. Wacana Perda.

Wacana Perda menjadi fenomena menarik untuk didiskusikan terutama jika melihat presentase perusahaan yang masuk kategori pengemplang CSR terutama untuk daerah yang memiliki kawasan industri terpadu dan cadangan Sumber Daya Alam (SDA) melimpah seperti Kalimantan timur khususnya Balikpapan. Sudah pasti wacana tersebut diperuntukan untuk perusahaan pengelola berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), maupun swasta (PT).

Euphoria pembuatan Peraturan Daerah tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau yang lebih dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR), ternyata tidak hanya melanda Kota Balikpapan. Setidaknya wacana tersebut digulirkan juga oleh beberapa daerah. Menurut informasi yang ada, daerah yang tengah berencana atau sedang membahas Raperda tersebut adalah DPRD Kabupaten Serang, DPRD Kota Serang, DPRD Kota Cilegon, DPRD Kota Bandung, DPRD Kabupaten Tangerang, DPRD Otorita Batam, DPRD Kota Bogor, dan daerah yang mempunyai cadangan Sumber daya alam yang melimpah seperti Kalimantan Timur.

Sebenarnya wacana pembuatan Rancangan Peraturan Daerah tentang CSR bisa dikatakan sah-sah saja selama hal tersebut memenuhi syarat yang telah ditentukan diantaranya materi muatan dalam Ranncangan Peraturan Daerah tersebu harus memuat seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Penyelenggaraan otonomi daerah disini dapat diartikan bahwa hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya hak, wewenang dan kewajiban tersebut diwakili oleh pemerintah daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan . Pemerintah daerah dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban tersebut diberikan berdasarkan prinsip otonomi daerah yaitu daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Penyelenggara pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan ketentuan daerah lainnya. Kebijakan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan Daerah lain.

C. Apa sebenarnya CSR Itu?

Ada banyak deffinisi yang diberikan untuk konsep CSR namun demikian definisi yang diterima luas oleh para praktisi dan aktivis CSR adalah definisi menurut The World Business Council for Sustainable Development yaitu bahwa CSR merupakan suatu komitmen terus-menerus dari pelaku bisnis untuk berlaku etis dan untuk memberikan kontribusi bagi perkembangan ekonomi sambil meningkatkan kualitas hidup para pekerja dan keluarganya, juga bagi komunitas lokal dan masyarakat pada umumnya.

Dari definisi ini kita melihat pentingnya ‘sustainability’ (berkesinambungan/ berkelanjutan), yaitu dilakukan secara terus-menerus untuk efek jangka panjang dan bukan hanya dilakukan sekali-sekali saja. Konsep CSR memang sangat berkaitan erat dengan konsep sustainability development (pembangunan yang berkelanjutan).
Konsep CSR dengan demikian memiliki arti bahwa selain memiliki tanggung jawab untuk mendatangkan keuntungan bagi para pemegang saham dan untuk menjalankan bisnisnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku, suatu perusahaan juga memiliki tanggung jawab moral, etika, dan filantropik. Pandangan tradisional mengenai perusahaan melihat bahwa tanggung jawab utama (jika bukan satu-satunya) perusahaan adalah semata-mata terhadap pemiliknya, atau para pemegang saham. Adanya konsep CSR mewajibkan perusahaan untuk memiliki pandangan yang lebih luas yaitu bahwa perusahaan juga memiliki tanggung jawab terhadap pihak-pihak lain seperti karyawan, supplier, konsumen, komunitas setempat, masyarakat secara luas, pemerintah, dan kelompok–kelompok lainnya.

Dalam hal ini, jika sebelumnya pijakan tanggung jawab perusahaan hanya terbatas pada sisi finansial saja (single bottom line), kini dikenal konsep ‘triple bottom line’, yaitu bahwa tanggung jawab perusahaan berpijak pada 3 dasar, yaitu finansial, sosial dan lingkungan atau yang juga dikenal dengan 3P (profit, people, planet).

D. Regulasi CSR Di Indonesia

Sebelum diatur secara eksplisit dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, konsep CSR sebenarnya telah diatur dalam beberapa Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Hal ini didasarkan pada cakupan definisi CSR yang luas yaitu termasuk bidang lingkungan, konsumen, ketenagakerjaan dan lain-lain, maka di bawah ini diuraikan tentang beberapa Peraturan Perundang-undangan yang di dalamnya secara langsung dan tidak langsung mengatur tentang konsep CSR.

1. Peraturan Menteri Negara BUMN No Per-05/MBU/2007
Peraturan Menteri Negara BUMN No Per-05/MBU/2007, menerangkan mengenai aturan Program Kemitraan (PK). Sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 6 membahas mengenai bantuan terhadap peningkatan usaha kecil, dan Program Bina Lingkungan (BL) diatur dalam Pasal 1 ayat 7, di mana ruang lingkup BL diatur dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e, meliputi bantuan terhadap korban bencana alam, pendidikan, atau pelatihan, peningkatan kesehatan, pengembangan sarana dan prasarana umum, bantuan sarana ibadah, dan bantuan pelestarian alam.

2. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-undang ini banyak mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab perusahaan terhadap konsumennya. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 huruf e bahwa perlindungan konsumen bertujuan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha. Dalam UU ini juga diatur mengenai kewajiban pelaku usaha, perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha, dan mengatur tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha.

3. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-undang ini antara lain bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan juga untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya (pasal 4).

4. UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Pengaturan mengenai tanggung jawab sosial atau yang sekarang dikenal CSR dalam undang-undang ini sebagai mana diatur dalam beberapa pasal diantaranya Pasal 15 yang menerangkan bahwa Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan dan menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal. Penjelasan pasal 15 Huruf b Yang dimaksud dengan "tanggung jawab sosial perusahaan" adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.

Pasal 16 menyebutkan bahwa Setiap penanam modal bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan hidup dan menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja.

Pasal 34
(1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau;
d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. UU NO. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Pasal 1 huruf a menyebutkan bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun pada masyarakat pada umumnya.

Pasal 66 (1) menyebutkan bahwa Direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah tahun buku Perseroan berakhir. (2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat sekurang-kurangnya laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

Pasal 74
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
(2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhitungkan kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam penjelasan Pasal 74 ayat (1) menyebutkan bahwa ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. (2) Yang dimaksud dengan ‘Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam’ adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan mengusahakan sumber daya alam. Yang dimaksud dengan ‘Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam’ adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.

6. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sebagaimana definisi diatas bahwa konsep CSR tidak terlepas dengan pengelolaan yang berkelanjutan, mandat tersebut tertuang juga dalam UU No. 32 Tahun 2009. Bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga Negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.

Pasal 42
(1) Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup.
(2) Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;
b. pendanaan lingkungan hidup; dan
c. insentif dan/atau disinsentif.

Pasal 43
(1) Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a meliputi:
a. neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup;
b. penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup;
c. mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antar daerah; dan
d. internalisasi biaya lingkungan hidup.
(2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b meliputi:
a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup;
b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup; dan
c. dana amanah/bantuan untuk konservasi.
(3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c antara lain diterapkan dalam bentuk:
a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup;
b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup;
c. pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup;
d. pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi;
e. pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup;
f. pengembangan asuransi lingkungan hidup;
g. pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup; dan
h. sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrument ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Dari regulasi diatas dapat dikatakan bahwa kewajiban dan tanggung jawab perusahaan bukan hanya untuk pemilik modal semata, melainkan juga kepada lingkungan hidup, karyawan dan keluarganya, konsumen dan masyarakat sekitar. Namun demikian khusus pengaturan CSR yang diakomodir dalam UU No. 40 tahun 2007, masih perlu dicermati dan pengaturan lebih lanjut.

E. Hal-hal Yang Kemudian Menjadi Bias Dalam Perda CSR.

Pada dasarnya peraturan mengenai CSR adalah peraturan dalam proses penyempurnaan. Masih terdapat beberapa kekurangan didalamnya dan diperlukan upaya penyempurnaan. Beberapa hal yang perlu disempurnakan sebagaimana yang disampaikan oleh Holy K. M. Kalangit, SH . Diuraikan dibawah ini:
  • Hal pertama yang perlu mendapat perhatian bersama mengenai ketidak konsistenan menggunakan istilah antara UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dengan UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. UU No. 25/2007 menggunakan istilah ‘Tanggung Jawab Sosial Perusahaan’ sedangkan UU Perseroan Terbatas menggunakan istilah ‘Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan’, meski makna yang terkandung pada dasarnya sama. Sepertinya pembuat UU PM menerjemahkan langsung dari istilah ‘corporate social responsibility’. Selain istilah yang berbeda, uraian definisinya pun tidak sama meski dalam penjelasan pasal 74(1), UU PT mengutip definisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang digunakan dalam UU PM sebagai tujuan dari ketentuan tentang TJSL dalam UU PT.
  • Masalah sanksi, dalam UU Penanaman Modal telah diatur dalam pasal 34 yang meliputi sanksi administratif maupun sanksi lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam UU Perseroan Terbatas, sanksi bagi perusahaan yang tidak melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan tidak diatur secara spesifik melainkan ‘diserahkan’ pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasan pasal 74 (3) UU Perseroan Terbatas, disebutkan bahwa sanksi yang dikenakan adalah sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.
  • Subyek yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas yang diwajibkan melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan dibatasi hanyalah perusahaan yang ‘menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam’. Pengaturan ini membatasi jenis-jenis perusahaan yang harus melakukan TJSL. Tapi jika membaca penjelasan pasal 74 (1), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah yang usahanya adalah memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam. Sedangkan yang menjalankan kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam adalah yang kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Menurut Muh. Endro Sampurno, penjelasan ayat 1 tersebut dapat diinterpretasikan berlaku bagi seluruh sektor industri tanpa terkecuali karena apabila dicermati lebih teliti, maka sebenarnya seluruh aktifitas manusia di muka bumi ini memiliki dampak terhadap eksistensi sumber daya alam.
  • Pengimplementasian ketentuan tentang TJSL dalam UU PT di atas dapat menimbulkan beberapa masalah. Misalnya tentang ketidakjelasan perusahaan–perusahaan mana yang wajib melakukan TJSL mengingat kurang selarasnya pengaturan dalam pasal 74 dengan penjelasan pasal tersebut. Jika mengacu pada pasal 74(1) maka perusahaan seperti bank, perusahaan asuransi, dan lain-lain tidak diwajibkan. Namun jika mendasarkan pada penjelasan pasal 74(1), maka semua perusahaan sebenarnya bisa dikenakan kewajiban melakukan TJSL. Akhirnya terpulang kembali pada komitmen perusahaan masing-masing.
  • Selain itu, kegiatan seperti apakah yang dapat dinamakan sebagai CSR/TJSL? Bagaimana kita bisa menilai bahwa suatu Perusahaan telah melakukan TJSL?
  • Aspek lain yang menentukan, kegiatan seperti apakah yang dapat dikatakan sebagai suatu CSR/TJSL adalah aspek keberlanjutan atau ‘sustainability’. Konsep CSR/TJSL sangat erat kaitannya dengan aspek ini (lihat juga definisi TJSL dalam pasal 1 (3) UU PT). Sehingga, kegiatan-kegiatan TJSL Perusahaan haruslah dibuat dalam rencana jangka panjang dan yang memiliki efek jangka panjang bagi masyarakat atau lingkungan.
  • Sampai saat ini, Peraturan Pemerintah seperti yang ditentukan dalam pasal 74 (4) untuk mengatur lebih lanjut tentang pelaksanaan dan standar pelaporan TJSL belum dikeluarkan. Sehingga perusahaan masih meraba-raba dalam pengimplementasian kewajiban baru ini. Selain itu Pemerintah perlu mempertegas cakupan TJSL yang diharapkan dari dunia usaha. Hal ini dapat dimasukkan dalam Peraturan Pemerintah tentang TJSL.
  • Mengingat adanya dualisme antara pengaturan dalam pasal 74 (1) dengan penjelasannya mengenai jenis perusahaan yang harus diwajibkan melakukan TJSL, maka hal ini harus dipertegas juga dalam Peraturan Pemerintah tentang TJSL. Karena jika tidak dikhawatirkan akan terjadi kesulitan dalam pengevaluasiannya nanti. Dimungkinkan juga terjadi ketidakpastian hukum dan kesulitan dalam penerapan sanksinya.
  • Mengingat kemampuan setiap perusahaan tidaklah sama, maka diharapkan juga keterlibatan dan partisipasi masyarakat, media massa serta LSM-LSM untuk tidak menuntut semua perusahaan melakukan TJSL dalam kapasitas dan kualitas yang sama.
  • Perlu ditetapkan adanya institusi pemerintah tertentu untuk mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan TJSL ini secara obyektif dan transparan.
Hal-hal di atas merupakan gambaran betapa pengaturan CSR masih menimbulkan pertanyaan dan memerlukan pembenahan lebih lanjut. Jika kemudian CSR dipaksakan untuk diatur melalu Perda maka dapat dipastikan akan terjadi ketidak harmonisan antara perda dan peraturan diatasnsnya nanti sebab dengan belum diterbitkannya PP yang mengatur tentang CSR yang mengakomodir hal-hal di atas nantinya menimbulkan ketidak jelasann payung apa yang sebetulnya mewajibkan perusahaan melakukan aktivitas CSR.

F. Betulkah Perda Solusinya?

Jika dicermati, sekilas mengenai pengaturan CSR dapat dikatakan telah memenuhi syarat untuk pembuatan Raperda CSR, sebab materi muatan dalam Ranncangan Peraturan Daerah yang memuat seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi sekilas telah terpenuhi. Namun demikian peraturan yang khusus mengatur konsep CSR sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, masih mengalami berbagai kendala dan masih perlu penyempurnaan melalui pengaturan lebih lanjut yaitu Peraturan Pemerintah (PP), hal ini tentunya untuk memperjelas mengenai pengaturan kewajiban CSR itu sendiri khususnya bagi dunia usaha. Dengan kondisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa tata aturan hukum yang melingkupi CSR belum sempurna sehingga wacana mengenai pembuatan Rancangan Peraturan Daerah tentang CSR masih harus menunggu diterbitkannya PP tentang CSR itu sendiri. Hal tersebut juga guna mengikuti hierarki Peraturan Perundang-undangan dan juga agar diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Jika kemudian pembuatan Raperda dipaksakan maka nantinya ketika PP diterbitkan akan beresiko terjadi tumpang tindih dengan perda yang dibuat nantinya. Maraknya daerah yang telah melakukan inisiasi pembutan Raperda CSR akan menimbulkan satu konsekwensi tersendiri. Seharusnya pemda yang telah atau sedang membuat raperda tentang CSR harus mencermati dulu mengenai materi muatan Raperda tersebut. Pemda juga seharusnya banyak belajar dari pengalaman di mana Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ratusan perda karena bertumpangan dengan aturan di atasnya. Jika kondisi tersebut terjadi maka bisa dibayangkan berapa anggaran yang terbuang percuma hanya untuk terbitnya sebuah perda yang kesannya hanya untuk kebutuhan pragmatis tampak memperhatikan dampak-dampak terkait lainnya.

Pembuatan Raperda CSR seharusnya tidak didasari oleh latar belakang motif menghimpun dana CSR perusahaan oleh pemerintah daerah (Pemda) sehingga program CSR dikelola satu atap dan pemda sebagai pelaksananya, hingga upaya daerah dalam meningkatkan perolehan dana APBD dengan menghimpun dana yang bersumber dari anggaran CSR. Jika kemudian hal tersebut terjadi maka Beberapa bias akan muncul ketika Raperda CSR menjadi sebuah perda. Diantaranya:
  1.  Ada kesan pemda berupaya membagi beban tanggung jawab pembangunan kepada perusahaan.
  2. Ada upaya meraup dana untuk pembangunan daerah yang bersumber dari pihak ketiga sehingga klaim APBD meningkat.
  3. Pemda berupaya mengelola program CSR satu atap dikoordinir oleh pemda, walaupun belum jelas pola dan tata laksananya.
  4. Pemda menafikan konsep CSR yang sesungguhnya.
  5. Posisi Pemda sebagai institusi pengontrol menjadi bias.
  6. Akan terjadi kontradiktif ketika daerah berupaya menarik investor untuk membuka industry didaerahnya namun dibebani berbagai macam aturan dan syarat yang tidak pada posisinya. Misalkan perusahaan diharuskan untuk menyetorkan dana CSR kepada Pemda dengan presentase yang telah ditentukan. Sementara aturan dan mekanisme pengalokasian dana CSR belum jelas diatur pada level peraturan di atas Perda.
H. Konsekwensi Sebuah Perda Salah Kaprah

Sebagaimana kita ketahui bahwa peraturan daerah tertentu yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, perubahan APBD, dan tataruang, berlakunya setelah melalui tahapan evaluasi oleh Pemerintah. Hal itu ditempuh dengan pertimbangan antara lain untuk melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan Daerah lainnya, terutama peraturan daerah mengenai pajak daerah dan retribusi daerah. Terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota. Terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.

Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, Pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila diketemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan daerah tersebut. Sanksi dimaksud antara lain dapat berupa penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah baik peraturan daerah, keputusan kepala daerah, dan ketentuan lain yang ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

I. Penutup

Sebagaimana telah diutarakan di atas, bahwa sesunguhnya pembuatan Raperda CSR itu sah-sah saja selama telah memenuhi syarat dan ketentuan yang telah diatur. Namun demikian berbicara mengenai konsep CSR bukanlah hal bisa dianggap mudah. CSR dilakukan berdasarkan pertimbangan matang sesuai "kebutuhan masyarakat" bukan "keinginan masyarakat". Setidaknya terdapat empat tahap dalam melakukan CSR yaitu need assessment (kajian kebutuhan), plan of treatment (perencanaan program), treatment action (aplikasi program), termination (pemutusan bantuan), dan evaluation (evaluasi). Setiap proses CSR membutuhkan waktu ideal, membutuhkan mereka yang ahli dan memiliki kapasitas dalam implementasinya, karena program CSR berkaitan dengan lokalitas, kebermanfaatan, keberdayaan, hubungan mutualisme, dan kepentingan stakeholder.

Proses pembuatan Raperda CSR seyogyanya bukanlah menjadi sebuah euphoria atau budaya ikut-ikutan antar daerah. Kecenderungan yang terjadi dewasa ini adalah adanya budaya laten ikut-ikutan dengan motif studi banding, kemudian hasil studi banding tersebut diterapakan meskipun kondisi dan fakta yang sesungguhnya hal tersebut tidak bisa dilakukan. Selain itu motif menghasilkan APBD yang sebesar-besarnya sejak bergulirnya era reformasi yang di ikuti oleh konsep otonomi darah sampai saat ini terus digulirkan meski harus bertentangan dengan regulasi dan konsep ideal yang ada.

Berkaca dari persoalan tersebut wacana Raperda CSR yang coba di inisiasati oleh Pemda Balikpapan bukanlah didasrkan pada hal-hal diatas, tetapi hal tersebut jika memang dilakukan berdasarkan suatu pengkajian secara mendalam. CSR memang merupakan bentuk keharusan bagi perusahaan tapi harus dilihat dahulu aturan apa yang melingkupinya. Jauh lebih baik jika pemerintah daerah melihat dahulu kondisi dan regulasi yang melingkupinya. Jangan sampai muncul ungkapan bahwa Pemda Balikpapan adalah daerah yang paling banyak menerbitkan Perda padahal banyaknya Perda yang diterbitkan tidak dengan sendirinya hak-hak yang diatur itu dapat secara otomatis di relisir. Inilah kata Myrdal salah satu ciri daerah/Negara lembeg (soft state) banyak memproduksi peraturan tetapi tidak bisa atau sukar dilaksanakan.


FN
***************16082010***************




Tidak ada komentar:

Kawasan Konservasi Hutan Kota Mangrove Kota Balikpapan