KELOLA SUMBERDAYA ALAM DEMI MASA DEPAN ANAK CUCU KITA

Minggu, 30 Mei 2010

OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI KALIMANTAN TIMUR

OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI KALIMANTAN TIMUR

Oleh:
Fadli. Mohammad Noch, SH


A. Pendahuluan

Tulisan ini secara khusus menyoroti sistem pengelolaan sumberdaya alam di Kalimantan timur yang dikaitkan dengan konsep Otonomi Daerah dan Desentralisasi, khususnya mengenai kewenangan pemerintah provinsi dalam hal penafsiran otonomi daerah dan kesiapannya. Selama ini dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah pusat dianggap belum mempunyai agenda yang jelas untuk memberikan pedoman, petunjuk ataupun arahan bagi pemerintah daerah untuk menjalankan pengelolaan sumberdaya alam di daerahnya masing-masing. Keadaan tersebut terlihat dengan adanya konflik tarik-menarik kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten; belum adanya peraturan yang komprehensif dan integral mengatur PSDA, belum terlihatnya program pengembangan kapasitas SDM pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat, dan sebagainya. Akibatnya, pemerintah daerah dianggap tidak siap untuk menjalankan otonomi.

Sementara itu, masyarakat dan pengusaha mengeluhkan sulitnya akses terhadap peraturan daerah, rendahnya transparansi dan akuntabilitas publik. Dalam proses penyusunan produk hukum daerah kurang melibatkan peran serta mereka, sementara dampak langsung dari produk hukum daerah tersebut akan mereka rasakan tanpa ada kemampuan untuk memberikan kritik atau penolakan yang bersifat membangun. Adakah mekanisme untuk menyampaikan aspirasi masyarakat adalah hal yang juga kurang mereka ketahui. Lebih jauh, sikap resistensi terhadap sebuah produk hukum terkadang memunculkan konflik yang merugikan multi pihak.


Di satu sisi, proses penyusunan produk hukum daerah membawa disharmoni antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Bagi pemerintah daerah, secara garis besar mereka telah berupaya menjalankan peraturan perundang-undangan yang berlaku dimana belum jelas diatur keterlibatan masyarakat. Di sisi lain, pemerintah daerah juga berhadapan dengan pemerintah pusat yang belum memiliki persamaan persepsi tentang konsep otonomi itu sendiri. Akibatnya kebijakan pemerintah daerah yang dituangkan di dalam sebuah peraturan daerah seringkali terhadang pelaksanaannya, karena dianggap tidak sesuai dengan kepentingan pemerintah pusat, seperti maraknya pencabutan sejumlah peraturan daerah oleh pemerintah pusat.

Kebijakan otonomi daerah yang diterapkan memberikan fenomena yang spesifik dalam penerapanya di berbagai daerah. Fenomena yang sefesifik ini sangat dipengaruhi kondisi kontekstual yang ada dimasing-masing daerah. Otonomi daerah yang dalam pelaksanaannya menimbulkan multitafsir ditingkat daerah kabupaten/kota, menjadikan sebuah peluang sekaligus tantangan yang mesti ditemukan titik temunya. Otonomi daerah yang meliputi didalamnya kebijakan politik, pemerintahan, hukum dan sosial menjadi semakin kompleks bila dikaitkan dengan wacana pengelolaan simber daya alam daerah.

Kompleksitas permasalahan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dalam konteks otonomi daerah dapat dikaji lebih jauh dari aspek hukum dan kebijakan. Aspek hukum dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam daerah menjadi perangkat lunak yang penting, guna membangun keteraturan dalam pengelolaannya. Melalui keteraturan dalam aspek hukum dan kebijakan daerah yang kuat di era desentralisasi seperti sekarang ini. Sehingga pengembangan terhadap sistem hukum pengelolaan sumber daya alam daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mestinya mulai dibangun dari sekarang juga.

Dalam kondisi spesifik dan kontekstual yang terjadi di Kalimantan Timur yang sering dihadapkan pada kondisi perijinan dan pengelolaan sumber daya alamnya tidak terlepas dari permasalahan hukum. Aspek hukum dan kebijakan disini menjadi elemen penting untuk menjelaskan dan memberikan panduan bagi keberlanjutan pengaturan dan pengurusan perijinan dan pengelolaan sumber daya alam.

Asumsi yang dibangun adalah bahwa untuk mencapai optimalisasi pelaksanaan otonomi daerah dalam pengelolaan sumber daya alam diperlukan adanya suatu kerangka hukum dan kebijakan pengelolaannya. Sehingga untuk mengetahui lebih jauh tentang sejauh mana pengembangan kerangka hukum dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam daerah maka diperlukan sebuah studi hukum dan pengelolaan sumber daya alam daerah.

B. Otonomi Daerah Dan Desentralisasi Di Kalimantan Timur

Sejujurnya, pada saat sumberdaya alam mineral (tambang) dan hutan yang melimpah ruak di Kalimantan Timur mulai dieksploitasi secara intensif guna turut membiayai pembangunan ekonomi Indonesia pada awal tahun 70-an, hampir tak seorangpun yang berkeberatan. Pemahaman bahwa pemanfaatan sumberdaya tersebut bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang pada dasar konstitusional republik ini (Pasal 33 UUD 1945), menjadikan luput kepedulian bahwa sumberdaya yang ada terus terkuras dan menurun daya dukungnya. Meskipun sudah jutaan kubik kayu dan jutaan barel minyak terangkut dan tersedot keluar provinsi selama satu dasawarsa pertama, belum terlihat rasa kekecewaan mendalam dari warganya. Memasuki dasawarsa kedua era pembangunan, pada saat flora dan fauna berharga mulai sulit dijumpai, sementara eksploitasi pertambangan mulai merambah lokasi-lokasi rentan atau seharusnya terlarang, serta konservasi lahan hutan alam ke perkebunan dan tanaman industri melaju kedepan, masi banyak yang mempercayai bahwa cita-cita kemakmuran memang memerlukan pengorbanan.

Tidak pernah diduga, bahwa gelombang reformasi diawal tahun 1998 yang lalu telah meruntukan dan meluluh lantakan kekuasaan politik otoriter orde baru. Paradigma kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dari pemerintahan baru terkesan secara ikhlas bergeser dari “orientasi negara” dan “berbasis produksi” ke arah “orientasi kerakyatan” dan “berbasis ekosistem”. Demokratisasi dan partisipasi menjadi slogan kebijakan dan peraturan perundangan yang dihasilkan. Desentralisasi dan otonomi daerah menjadi instrumen pendukung yang dipromosikan dan mulai diterapkan memasuki babak milenium ini. Daerah provinsi dan terutama kabupaten/kota kini menjadi lebih dominan dari sisi politik dan administrasi menyangkut pengelolaan sumberdaya alam di wilayah masing-masing. Bagi provinsi kaya sumberdaya seperti Kalimantan Timur hal tersebut seakan menjadi ”berkah” di tengah turbulensi politik negara yang berkepanjangan. Akan tetapi, banyak pihak masih waspada dan mempertanyakan, sejauh mana perubahan dimaksud mampu membawa manfaat? Ataukah justeru akan menciptakan ”mudharat”.

Lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah tahun 1999 dimaknai sebagai lahirnya ”kekuasaan baru” disetiap daerah dan sekaligus meruntuhkan dominasi pemerintah pusat yang cenderung otoriter tanpa terkecuali pada kebijakan-kebijakan pengusahaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Pemerintahan anti kritik dan koreksi, bersifat sentralistik dan yang memegang pemeran tunggal dalam setiap kewajiban dan kewenangannya.

Otonomi daerah yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari, berlahan namun pasti mulai menempatkan Pemerintah daerah menggantikan peran pemerintah pusat yang dulunya lebih dominan dalam segala hal. Peran tersebut mulai direalisasikan dalam bentuk kewenangan daerah, hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur.

Secara umum konteks kewenangan yang terbangun di daerah Kalimantan Timur merujuk pada adanya Undang-undang otonomi daerah yang lebih lanjut dijabarkan dengan pemahaman desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerrintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan republik Indonessia. Dasar hukum yang dijadikan pegangan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan kewenangannya sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 UUPD 1999 yang menyebutkan, daerah diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya nasional yang tersedia diwilayahnya. Kewenangan yang dimaksud telah dirinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 sebagai implementasi Pasal 12 UUPD 1999. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut secara jelas dan tegas telah merinci bidang-bidang pembangunan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi. Secara a kontrario, maka bidang-bidang pembangunan lainnya menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Saleng: 2004).

Prinsip dasar selanjutnya yang menjadi kewenangan propinsi sebagaiman diatur dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah jonto Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007. Upaya desentralisasi yang digulirkan telah menciptakan wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang kemudian hal tersebut dikenal dengan istilah otonomi daerah.

Dasar hukum inilah yang digunakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menjabarkan kewenangannya dalam konteks daerah, dengan langkah awal mencari jurus jitu bagaimana pengelolaan serta pengaturan berdasarkan kewenangan daerah disektor-sektor yang berpotensi meraup keuntungan lebih besar bagi daerahnya, tanpa harus ragu atau gentar dengan aturan yang telah ada sebelumnya.

Salah satu potensi yang teridentifikasi akan mendatangkan keuntugan bagi pemetintah daerah Provinsi Kalimantan Timur adalah sektor sumber daya alam (pertambangan, kehutanan dan perkebunan). Sektor tersebut memang harus segera dicarikan formula pengaturan dalam konteks daerah sebab potensi sumber daya alam tersebut selain sebagai sumber produksi yang dapat menambah sumber pendapatan daerah yang dipergunakan untuk biaya pembangunan dan kesejahteraan rakyat, juga dapat menjadi pemicu terjadinya konflik sosial dalam masyarakat, terutama antara penduduk lokal dengan migran pendatang apabila dalam pengelolaan, pemanfaatan dan peruntukannya tidak didasari oleh peraturan perundang-undangan.

Pada banyak kasus, otonomi daerah yang lebih besar dan kendali oleh pemerintah daerah telah membuka ruang kewenangan yang lebih besar bagi Pemerintah Daerah Kalimantan Timur. Kewenangan tersebut merupakan hasil penjabaran daru Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 13 yang mengatur tentang kewenangan/ urusan wajib dan urusan pilihan bagi Pemerintah Provinsi.

C. Cerita kewenangan pengelolaan sumberdaya alam (PSDA) Provinsi Kalimantan Timur era otonomi  daerah dan desentralisasi.

Berdasarkan data yang dimiliki dan riset yang dilakukan IHSA, konteks kewenangan yang terbangun di Kalimantan Timur diterjemahkan dari adanya konsep otonomi daerah dan desentralisasi yang bergulir di awal 1999 melalui produk hukum Undang-undang Nomor 22 tahun 1999. Pada saat itu Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menaruh perhatian sangat serius dalam pengelolaan sumberdaya alam (PSDA) dengan berharap otonomi daerah dapat menggantikan sentralistik PSDA pada masa orde baru (orba) dengan pola PSDA yang dapat menguntungkan dan mensejahterakan masyarakat Kalimantan Timur tanpa terkecuali bangsa Indonesia dengan sistem bagi hasil dari pendapatan pengelolaan PSDA di Kalimantan Timur.

Pola PSDA yang dimaksud adalah PSDA yang dapat memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya kepada seluruh lapisan masyarakat (terutama masyarakat yang berada di daerah penghasil sumberdaya alam) selain memberikan peluang pemerintah pusat dan daerah dalam memperoleh pemasukkan untuk mengelola negara (dalam bentuk devisa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)).

Bagi Provinsi Kalimantan Timur kehadiran otonomi daerah dan desentralisasi melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan “berkah” yang patut disyukuri dan segera ditindaklanjuti dengan kewenangan yang dimandatkan dalam undang-undang tersebut. Kewenangan tersebut dijabarkan dalam bentuk pengeluaran izin usaha di daerah khususnya pada sektor mineral (tambang), perkebunan, perikanan dan infrastruktur yang memang selama ini menjadi primadona Provinsi Kalimantan Timur. Pemberian izin usaha di daerah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Data yang diperoleh dari Badan Promosi dan Investasi Daerah (BPID) investasi di Kaltim menunjukan perkembangan yang cukup baik, terbukti target pencapaian invetasi yang diinginkan Kaltim justru terlampaui. Ketika itu Kaltim menargetkan nilai investasi tahun 2004 mencapai 6,8 triliun namun kenyataannya mampu melampaui target hingga 7 triliun atau sekitar 125 persen, namun sejak diterbitkannya Kepres Nomor 28 dan 29 tahun 2004 tentang Kewenangan Daerah Terhadap Perizinan Investasi. Provinsi Kalimantan Timur mengalami kesulitan dalam pencapaian target PAD dan nilai investasi di Kaltim terus menurun. Pada intinya kepres tersebut merupakan bentuk campur tangan Pemerintah Pusat dalam hal pemberian izin investasi di daerah, kepres tersebut menarik kewenangan daerah provinsi untuk mengeluarkan izin usaha di daerah karena semuanya kembali menjadi kewenangan pemerintah pusat, meskipun memang ada keinginan pemerintah untuk mengelola perizinan dalam sistem satu atap. Sebenarnya daerah sangat setuju dengan keinginan itu, namun pemerintah pusat harus memikirkan bahwa kondisi di pusat jauh berbeda dengan daerah, sehingga tidak bisa disamakan dalam aturan secara terpusat.

Berbagai kalangan terutama Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur ketika itu menyesalkan sikap pemerintah pusat dengan mengeluarkan keppres tersebut dengan harapan Keppres tersebut ditinjau kembali atau paling tidak direvisi dan daerah diberi kewenangan untuk mengeluarkan izin investasi guna memacu pertumbuhan ekonomi di daerah.

Harapan untuk memberikan keleluasaan bagi daerah untuk menentukan urusan dan kewenangan guna pembangunan ekonomi daerahnya, mulai menemukan titik terang hal ini tak lain karena kehadiran konsep otonomi daerah babak dua kembali digulirkan dengan produk hukum Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 sebagai pengganti Undang-undang yang ada sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kehadiran UUPD Nomor 32 tahun 2004 seolah menjawab “Doa” Pemerintah Daerah.

Undang-undanag Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, hadir dengan sejuta ”pesona” dengan ditumpangi beberapa pasal yang syarat emosional namun menggairahkan bagi Pemerintah Daerah. Salah satu pasal yang syarat emosional tersebut sebagaimana yang terdapat pada Pasal 13 ayat (2) bahwa: “urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan”.

Dalam penjelasannya diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan yang secara nyata ada” dalam ketentuan ini sesuai dengan, kondisi, kekhasan dan potensi yang dimiliki antara lain pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pariwisata.

Seolah lengkaplah “Doa” yang selama ini dipanjatkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, sebab pasal tersebut merupakan potensi yang sesungguhnya menjadi primadona daerah. Kesempatan untuk meraup keuntungan guna kesejahteraan masyarakat Kalimantan Timur telah berada di depan mata, kesempatan tersebut segera ditindaklanjuti dengan menyusun strategi yang dituangkan dalam kewenangan Pemerintah Provinsi Kalimantan timur. Seolah tak mau kecolongan kedua kalinya maka kewenangan provinsi lebih diarahkan untuk mempersiapkan instrumen pendukung dan menjamin legalitas pemerintah daerah yang dibuat dalam berbagai Peratutan Daerah/ SK Pengelolaan Sumberdaya Alam (Perda/SK PSDA), sehingga gairah meraup keuntungan dari potensi daerah yang tersedia lebih terjamin dari segi legalitas.

Namun sangat disayangkan kewenangan yang diarahkan untuk menjamin legalitas PSDA di daerah seolah dibuat secara tergesa-gesa sehingga dalam proses implementasinya masih terdapat kekurangan diberbagai lini. Berdasarkan hasil penelitian IHSA di Kalimantan Timur dalam menjalankan program yang bertujuan memotret sejauh mana kesiapan pemerintah daerah menjalankan kewenangan-kewenangannya dalam pengelolaan sumberdaya alam di era otonomi, dengan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan sistem hukum daerah yang ada selama ini, serta melihat peluang dan tantangannya. Terdapat beberapa kelemahan yang dapat dicatat dari pelakasanaan otonomi daerah diantaranya adalah masih minimnya pemahaman terhadap kepentingan SDA dan prisip-prinsip PSDA yang berkelanjutan. Selain itu perbedaan persepsi dan pemahaman para pihak terhadap kebijakan dan hukum sumbebdaya alam (KHSDA) akan mempengaruhi pemahaman para pihak terhadap KHSDA dan penyusunan Produk Hukum Daerah.

Jika kita telusuri secara cermat salah satu permasalahan utama PSDA dalam pelaksanaan otonomi daerah selama ini adalah lemahnya sistem hukum yang ada di daerah yang seharusnya menjadi pedoman dan alat kontrol utama bagi seluruh aktifitas dan kebijakan PSDA. Sistem hukum daerah selayaknya yang meliputi pemahaman semangat dan tujuan otonomi daerah, prisip-prinsip PSDA yang berkelanjutan serta berpihak pada kepentingan masyarakat luas, serta keterampilan hukum dalam menerjemahkan pemahaman-pemahaman tersebut dalam produk hukum baik peraturan maupun kebijakan, yang harus melekat pada pemikiran setiap pengambil keputusan PSDA di daerah dan unsur pemerintahan lainnya. Sehingga semestinya pelaksanaan otonomi daerah harus berangkat terlebih dahulu pada suatu sistem hukum.

Berpijak pada lemahnya sistem hukum di daerah, maka dapat dipahami bila Perda/SK PSDA yang ada masiah cenderung bersifat parsial, sektoral, tidak sistimatis, berdimensi ekonomi jangka pendek, lemah segi teknik penyusunan peraturan Perundang-undangan (legal drafting), serta tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan maupun kelestarian lingkungan. Hal inilah kiranya yang menyebabkan banyak pihak berpendapat bahwa perda / SK PSDA yang ada masih belum mencerminkan semangat dan tujuan utama otonomi daerah, yaitu menempatkan pemerintah daerah sebagai lini terdepan pelayanan masyarakat dan pengelolaan SDA lainnya yang cepat, murah dan menyenangkan. Perda / SK PSDA yang ada juga belum memahami keterkaitan erat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam PSDA era otonomi daerah, otonomi daerah nampaknya lebih dimaknai sebagai semata-mata pembagian kewenangan bukan pembagian peran. Adanya fenomena kelemahan sistem hukum daerah ini tidak bisa kita timpakan hanya kepada pemerintah daerah semata. Secara sosiologis, hukum dan politis, pemerintah daerah telah dilemahkan oleh pola PSDA yang ada sejak kemerdekaan sampai era orba terutama dalam proses pengambilan keputusan. Maka sangatlah wajar, bila terjadi kegamangan bahkan kebingungan pada pemerintah daerah dalam menerima dan melaksanakan kewenangan PSDA di daerahnya masing-masing. Pembuat undang-undang dan pemerintah pusat nampaknya tidak menyadari pentingnya untuk meningkatkan suatu sistem hukum daerah dalam kerangka NKRI. Sistem hukum daerah inilah yang semestinya dapat berlaku sebagai petunjuk, pedoman ataupun arahan yang jelas bagi pemerintah daerah dalam menjalankan PSDA di daerahnya masing-masing.

Peraturan pemerintah yang dikeluarkan sebagai pelaksana sampai saat ini belum menyentuh pengembangan sistem hukum daerah. Kebingungan pemerintah daerah ini diperparah dengan masih adanya sejumlah UU yang bersifat sektoral dan dalam konteks perjanjian masih diatur oleh Pemerintah Pusat seperti UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.

Potret PSDA selama beberapa tahun terakhir ini menunjukan kenyataan bahwa telah banyak inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menindaklanjuti otonomi daerah dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) / SK PSDA didaerahnya masing-masing. Namun inisiatif tersebut nampaknya belum merata ke seluruh daerah dan masih terdapat berbagai kelemahan, tapi setidaknya apa yang harus dilakukan oleh daerah telah diupayakan, tentunya harapan untuk menuju perbaikan selalu terbuka dengan berbagai tawaran dan konsep pengelolaan sumberdaya alam (PSDA) guna kesejahteraan masyarakat Kalimantan Timur.

Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik benang merah bahwa kedudukan Propvinsi Kalimantan timur mempunyai peran yang strategis untuk pembangunan ekonomi daerahnya, peran tersebut sebagaimana yang dimandatkan dalam konsep otonomi daerah yang kemudian dengan lugas dan tegas terus dijabarkan melalui kewenangan provinsi sehingga menghasilkan kontribiusi bagi pembangunan daerah, melalui pendapatan asli daerah (PAD). Dengan kewenangan yang dimiliki maka terbuka ruang untuk menuju perbaikan dan kesejahteraan masyarakat Kalimantan Timur. Untuk itu Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah harus dimaknai oleh daerah sebagai barometer keberhasilan daerah. Daerah harus berani melangkah, menatap kedepan tanpa harus gentar dengan aturan pemerintah pusat yang seolah menjadi penghalang dan tak ikhlas menerima kenyataan bahwa memang sudah seharusnya daerah mengambil bagian terpenting demi kelangsungan pembanqgunan daerahnya, modal untuk itu pernah di coba Pemerintah Kalimantan Timur dengan hasil yang cukup menggembirakan dengan meraup pendapatan asli daerah di atas target yang telah ditentukan. Kekuasaan itu pernah dimiliki kaltim, namun semua terhalang dengan diterbitkannya Keppres 28 dan 29 tahun 2004 Tentang Kewenangan Daerah Terhadap Pemberian Izin Investasi. Ini bukti nyata bahwa sesungguhnya pemerintah pusat tidak akan pernah ikhlas dengan pembagian kekuasaan.

D. Kedalaman dan keluasan kewenangan

Disadari bahwa Provinsi kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi yang kaya akan sumberdaya alam, untuk itu diperlukan pengaturan pengelolaan sumberdaya alam secara cermat dan tepat. Kewenangan yang harus dipertajam oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota yaitu mempertanyakan sekaligus mempertegas ruang lingkup kewenangan dan kedudukannya terhadap konsep otonomi daerah dan desentralisasi sebagaimana yang dimandatkan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 jonto Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007. Khususnya menyangkut urusan wajib dan urusan pilihan. Hal ini penting dilakukan sekaligus untuk memastikan apa yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota.

Menurut penulis pasal yang mengatur tentang kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota, berpotensi menimbulkan multi tafsir. Ada kecenderungan Pemerintah Pusat seolah tidak ikhlas memberikan kebebasan terhadap pemerintah daerah melalui pasal yang memuat urusan wajib dan urusan pilihan. Sebab dalam dalam ketentuan lebih lanjut yaitu Pasal 14 ayat (3) menyatakan bahwa “elaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.

Secara umum dipahami bahwa apapun yang tertuang dalam pasal yang mengatur urusan wajib dan urusan pilihan untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota tetap menunggu pelaksana teknis dari Pemerintah Pusat, melalui Peraturan Pemerintah. Artinya apapun keleluasaan yang diberikan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota, sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya yang menyangkut urusan wajib dan urusan pilihan bagi pemerintah daerah masih tetap ada campur tangan Pemerintah Pusat. Pertanyaan selanjutnya adalah akankah pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota lepas dari bayang-bayang Pemerintah Pusat? Semuanya tergantung sikap pemerintah daerah yang harus segera mengambil sikap, peluang cukup terbuka lebar dengan digulirkannya wacana revisi Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Untuk membangun strategi dan kerja sama untuk harmonisasi vertikal ada 3 hal yang harus dipahami yaitu:
  • penyatuan visi antara pemerintah pusat dan daerah tentang pentingnya otonomi daerah dan desentralisasi
  • adanya komitmen politik pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang kuat dan sungguh-sungguh dengan indikator agenda yang jelas dan dapat dijalankan serta adanya pelibatan masyarakat.
Untuk membangun harmonisasi horizontal yang perlu dekembangkan:
  • Penyusunan konsep awal dimasing-masing daerah guna membicarakan tindak lanjut dan penyusunan kewenangan bagi setiap daerah yang difasilitasi oleh Gubernur
  • Pembentukan Tim yang melibatkan seluruh stoceholder membicarakan konsep pembangunan daerah melalui pelung otonomi daerah dan desentralisasi tanpa dibumbui dengan adanya kepentingan.(eksekutif, legislatif, perwakilan yudikatif daerah dan unsur masyarakat)
  • Penyusunan Perda tentang Tata Cara Penyusunan Produk Hukum Daerah (yang aspiratif, transparan dan akuntabel)
  • Pengalokasian anggara beserta berbagai produknya yang memadai
  • Agenda peningkatan kualitas (capacity building) pemahaman untuk biro hukum, legislatif dan bagian hukum dinas terkait di daerah tentang, antara lain: ebijakan dan hukum SDA, hak dan kewajiban warga negara (civic education),tata cara penyusunan produk hukum (legal drafting), tata cara penyusunan kontrak/perjanjian bisnis (contract drafting).
Aspek penegakan hukum
  • Pengembangan sistem hukum on-line dan perijinan satu atap yang dapat mendorong iklim investasi yang positif
  • Pengembangan mekanisme peranserta masyarakat
  • Pengembangan dan penguatan sistem informasi dan data (database) hukum daerah.
Selanjutnya yang perlu dikembangkan adalah kebutuhan penataan sistem hukum daerah dalam konteks otonomi pengelolaan sumberdaya alam, yaitu dengan memperbaiki kelembagaan, pemahaman para pihak dan budaya. Secara kelembagaan, diantaranya perlu memperbaiki koordinasi antar lembaga, meningkatkan pemahaman akan fungsi dan tugas kelembagaan, dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Sementara itu, terkait dengan pemahaman para pihak terhadap kebijakan sumberdaya alam, dibutuhkan penyebaran informasi dan penguatan pemahaman para pihak. Selain itu, pemerintah pusat perlu menyediakan peraturan operasional terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam khususnya yang dimandatkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah. Selanjutnya, upaya memperbaiki budaya hukum antara lain dilakukan dengan memperbaiki paradigma otonomi pengelolaan sumberdaya alam, penegakan hukum secara konsisten dan memberantas KKN.

Berdasarkan kajian Institut Hukum Sumberdaya Alam (IHSA) selama hampir dua tahun, ditemukan bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya alam setidaknya harus memuat 5 aspek penting yang digunakan sebagai rujukan dalam membuat dan atau mengubah sebuah pengaturan di bidang pengelolaan sumber daya alam. Kelima aspek tersebut adalah aspek filosofis, sosiologis, ekologis, yuridis, dan politis.

Lima aspek yang telah di sebutkan di atas merupakan muatan penting yang harus terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang ideal. Oleh karena itu, dalam rangka pengaturan ulang pengelolaan sumberdaya alam kelima aspek tersebut kiranya harus ditarik kembali pada kerangka pemikiran awal, yang memaksudkannya sebagai kerangka pembentukan pengaturan yang ideal. Dengan demikian, kelima aspek di atas secara khusus menjadi mandat bagi pengambil kebijakan meninjau kembali peraturan perundang-undangan pengelolaan sumberdaya alam yang sudah ada, atau untuk membentuk peraturan baru yang dibutuhkan.

Sebelum kita melihat kembali sejauh mana kelima mandat yang telah disebut di atas telah terpenuhi dalam peraturan perundang-undangan yang ada, perlu untuk dijabarkan terlebih dulu hal apa yang tercakup di dalam masing-masing mandat tersebut.

1. Mandat filosofis:

Bahwa pada dasarnya suatu peraturan haruslah dibuat dengan berlandaskan pada kebenaran dan prinsip-prinsip keadilan. Di dalamnya juga termuat penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan prinsip kesetaraan jender, termasuk pengakuan atas hak masyarakat hukum adat, jaminan perlindungan atas hak-hak pribadi, serta jaminan atas kesejahteraan masyarakat dan kelestarian ekosistem.

2. Mandat sosiologis:

Bahwa pengelolaan sumber daya alam tidak serta merta dapat diseragamkan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Suatu peraturan dibuat atas dasar kebutuhan, aspirasi, serta kemampuan masyarakat setempat dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di daerahnya. Selain itu, pengaturan pengelolaan sumber daya alam juga harus dapat meningkatkan ekonomi masyarakat, sekaligus memberikan kesempatan bagi pengembangan kemampuan mereka. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk memetakan kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat, sehubungan dengan pengelolaan sumber daya alam, adalah melalui Mekanisme Konsultasi Publik (MKP).

Apabila perumusan sebuah peraturan memenuhi mandat tersebut, maka diharapkan produk hukum yang terbentuk nantinya dapat sesuai dengan nilai sosial dan budaya yang dianut oleh masyarakat setempat.

3. Mandat ekologis:

Pengaturan perundang-undangan yang mengatur sumber daya alam harus dapat mengurangi tumpang tindih peraturan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, mewujudkan keselarasan peran antar pusat dan daerah, serta antar sektor. Perbedaan karakteristik alam dan keanekaragaman hayati yang ada di setiap daerah juga menjadi pertimbangan bahwa pengelolaan sumber daya alam tidak dapat diseragamkan pengaturannya. Selain itu, tujuan pengelolaan sumber daya alam tidak hanya untuk mendapatkan manfaat dan hasil yang optimal, tetapi tetap harus memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan, serta mengubah orientasi eksploitasi menjadi semangat rehabilitasi lingkungan serta pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan hidup yang berkelanjutan.

4. Mandat politis

Dengan bergulirnya reformasi, semangat pembaruan arah kebijakan negara juga diharapkan ikut bergeser ke arah yang lebih demokratis dengan memberi porsi keterlibatan masyarakat yang lebih besar. Peraturan perundang-undangan yang baik bukan saja memuat aturan yang baik secara substantif tetapi juga peka terhadap dinamika perubahan masyarakat, peka terhadap kemungkinan timbulnya konflik vertikal maupun horizontal, serta didukung oleh sistem penyelenggara negara yang profesional dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

5. Mandat yuridis

Seiring dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, terjadi perubahan dan pergeseran ketatapemerintahan. Pola yang sentralistik beralih ke pola yang desentralistik. Dalam proses ini penegakan hukum secara konsisten menjadi suatu tuntutan untuk tercapainya kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, serta supremasi hukum. Produk hukum yang keluar dari proses ini juga harus dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat.

E. Posisi dan kewenangan kepala daerah

Memang secara politis, posisi kepala daerah muncul dari kontestasi pemilihan langsung yang melibatkan partai politik/ kekuatan politik independent. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa kekuatan politik masih mendominasi program dalam tata pemerintahan, hal ini dikarenakan adanya sifat ”balas budi” dari partai politik atau kekuatan politik independent pengusung kepala daerah tersebut. Orientasi partai politik adalah kekuasaan dan itu masih mendominasi dan tetap menjadi wacana dalam pemilihan kepala daerah di Kalimantan Timur. Proses aktualisasi diri menjelang pemilihan kepala daerah di Kalimantan Timur diwarnai dengan janji-janji kesejahteraan rakyat dan bahkan terkadang dibungkus dengan isu-isu politik yang bernuansa perpecahan. Penggunaan anggaran daearah menjadi sasaran empuk untuk mengkampanyekan program-program ketika terpilih nantinya. Tidak jarang juga isu yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam dilontarkan sebagai penarik simpati masyarakat, investor dengan janji-janji tanpa mempersulit mekanisme perizinan, dan jaminan keamanan. Pesta demokrasi pemilihan kepala daerah di Kalimantan Timur juga diwarnai dengan sikap tidak terpuji oleh kontestan yang ikut dalam arena pertarungan politik yang masih memegang jabatan sentral sebagai salah satu kepala daerah, kesempatan tersebut digunakan untuk menggalang dana dalam pemilu selanjutnya bahkan terkadang izin konsesi menjadi barter suara dan dana kampanye. Sehingga tidak heran jika isu money politic selalu menjadi konsumsi publik.

Kontestan yang terpilih selalu berorientasi pada program pengembalian anggaran kampanye yang telah digunakan sehingga tidak heran bahwa apa yang menjadi kebutuhan publik selalu terabaikan. Sebut saja isu-isu pengelolaan sumberdaya alam yang segera membutuhkan anggaran untuk pemulihan lingkungan, terkadang laporan untuk segera ditanganinya isu tersebut menjadi tumpukan dokumen yang kemudian menjadi sampah.

Partai politik juga tidak ketinggalan, tarik-menarik penguasaan aset daerah menjadi rebutan. Hal ini terus berlanjut hingga kantor parlemen yang sejatinya merupakan garda terdepan untuk menyuarakan aspirasi rakyat Kaltim. Transparansi dan akuntabilitas menjadi sesuatu yang tabuh untuk disuarakan dan diperjuangkan di meja parlemen.

Maka perlu disadari juga proses desentralisasi mesti dijalankan lewat cara-cara yang demokratis dan adil. Ada beberapa rekomendasi untu itu:

Menjalankan Desentralisasi
  • Desentralisasi dapat mencegah disintegrasi di Indonesia. Penerapannya harus diwujudkan secepatnya.
  • Desentralisasi dan pendanaannya yang layak harus dijamin dalam amandement konstitusional
  • Parlemen bikomeral nasional harus dipeertimbangkan, dimana perwakilan daerah harus mendominasi majelis tertinggi
Menciptakan desentralisasi yang demokratis
  • Upaya yang lebih besar harus dilakukan untuk membangun partisipasi masyarakat dalam struktur pemerintahan daerah yang baru
  • Majelis rakyat daerah yang terpilih harus diberdayakan melalui pelatihan khusus dari penasehat ahli
  • Lubang-lubang dalam aturan hukum yang memungkinkan korupsi politik (berkaitan dengan pemilihan dan akuntabilitas pimpinan daerah) pada tingkat daerah harus di tutup
  • Menemukan sejumlah cara baru untuk mempromosikan aturan hukum di tingkat daerah merupaka prioritas yang paling penting.
Menanggung biaya desentralisasi
  • Daerah dengan tingkat kemiskinan mendapatkan perhatian khusus untuk menjamin proses desentralisasi tidak membuat mereka bertambah miskin
  • Pemerintah daerah perluamin hak untuk mengakses sumber informasi yang ada diwilayahnya secara mandiri
Menyelesaikan konflik
  • Ada kebutuhan untuk mengembangkan cara non-konfrontasi untuk menyelesaikan konflik antara pusat dan daerah, sebagai contoh melalui asosiasi otonomi daerah secara sukarela
  • Kelompok-kelompok social perlu lebih dilibatkan dalam forum untuk mediasi konflik yang baru antar dan di dalam daerah Kabupaten.
  • Merancang program aksi yang tegas untuk mendukung investor dan perusahaan local yang ramah lingkungan dalam mendapatkan akses pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan
  • Memastikan proses tender untuk proyek-proyek investasi dapat berlangsung adail di tingkat local, terbuka bagi semua penawar
  • Untuk studi kelayakan, proses investasi daerah harus taat pada syarat-syarat analisis dampak social dan lingkungan, seperti ditetapkan oleh Bapedalda
  • Harus ada penyaringan ketat terhadap proposal investasi, mempertimbangkan dampak lingkungan dan social kegiatan-kegiatannya secara hati-hati
  • Memberdayakan investor local dengan kemampuan untuk taat pada prinsip-prinsip tanggung jawab social sebagai asset dan sebuah bentuk pengaruh berkompetisi dengan investor lain.
Untuk perbaikan system birokrasi guna menuju masa depan birokrasi dan terkait dengan perubahan perilaku pejabat public, usulannya sebagai berikut:
  1. merasionalisasi dan mereformasi administrasi public agar efisien dan efektif. Upah perlu ditingkatkan untuk pegawai pemerintah agar insentif dari sogokan dan korupsi bisa ditiadakan
  2. mengurangi rasio pegawai pemerintah dengan publik pada umumnya hingga ketingkat realistis. Melatih kembali para administrator publik untuk lebih responsif
  3. meninjau proses rekrutmen dan promosi dalam birokrasi untuk memastikan bahwa prestasi dsn efisiensi adalah kriteria rekrutmen
  4. menjamin birokrasi bisa dimintai pertanggungjawabannya didepan masyarakat, sebagai sebuah pranata dengan orientasi melayani dan bekerja berdasarkan tuntutan
  5. memberikan upah yang kompetitif dan menjamin bahwa orang-orang yang direkrut bisa membangun karir yang berarti dalam birokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

PKSA, 2001, Menyingkap Tabir Kelola Alam (Pengelolaan sumberdaya alam Kalimantan Timur dalam kacamata desentralisasi), NRM dan USAUD, Samarinda.

Bapedalda Provinsi Kaltim, 2005, Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda.

Hadiz, R, Vedi dan Dhakidae, Daniel, 2006, Ilmu Sosial dan Kekuasan Di Indonesia, PT Equinox Publishing Indonesia, Jakarta.

Hermosilla, Contreras, Arnaldo dan Fay, Chip, 2006, Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia, Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah (permasalahan dan kerangka tindakan), World Agroforestry Centre, Bogor.

Kalsen, Hans, 2006, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusamedia dan Nuansa, Bandung.

Simarmata, Rikardo, 2007, Kelembagaan dan Peranserta Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan, Analisis Terhadap PP No. 6/2007, IHSA, Jakarta.

Saleng, Abrar, 2004, Hukum Pertambangan,UII Press Yogyakarta (Anggota IKAPI), Yogyakarta.

Stronk, F.A.M, MR, penerjemah, Syafrudin, Ateng, H, 2006, Pemahaman Tentang Dekonsentrasi, PT Refika Aditama, Bandung.

Tim IHSA, 2003, Hasil Laporan Penelitian Pengembangan Sistem Hukum Daerah Di Indonesia, Balikpapan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Perubahan II (Dua).

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Karina, Surabaya.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah, Karina, Surabaya

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota





1 komentar:

Anonim mengatakan...

fvgfchgccdhgd

Kawasan Konservasi Hutan Kota Mangrove Kota Balikpapan